Materi Ujian Komprehensif Akuntansi
Manajemen
A. RUANG
LINGKUP AKUNTANSI MANAJEMEN
1. Organisasi
dan Akuntansi
Organisasi adalah sekelompok orang yang
bekerjasama untuk mencapai tujuan bersama. Organisasi dapat digolongkan menjadi
organisasi berorientasi laba dan berorientasi non laba. Organisasi dengan
tujuan apapun selalu menggunakan sumber daya (resources), sepeti barang, uang, peralatan dan teknologi, dan
keahlian manusia. Jumlah sumberdaya, menurut ilmu ekonomi, sangat terbatas,
sedangkan kebutuhan terhadapnya sangat tidak terbatas. Oleh karena itu, sumber
daya harus digunakan se-efektif dan se-efisien mungkin. Agar dapat bekerja
secara efektif dan efisien, organisasi membutuhkan informasi tentang
a. Sumberdaya yang dimilikinya,
b. Hasil yang telah dicapai dengan penggunaan
sumberdaya tersebut.
Pihak-pihak di
luar organisasi yang berkepentingan, baik langsung maupun tak langsung dengan
keuangan organisasi juga membutuhkan informasi mengenai organisasi tersebut.
Kebutuhan akan informasi dapat dipenuhi antara lain oleh sistem informasi
akuntansi. Salah satu sistem informasi akuntansi adalah akuntansi manajemen
yang dapat menyediakan jasa informasi akuntansi yang berguna untuk pengambilan
keputusan para manager.
2. Jenjang
Manajemen dan Jenis Wewenang
Struktur organisasi juga memperlihatkan
jenjang atau aras (level) manajemen dan jenis wewenang. Ditinjau dari
jenjangnya, direktur adalah manajemen teras (top management), kepala bagian adalah manajemen menengah (middle management), kepala seksi adalah
manajemen bawah (lower management).
Wewenang manajemen dibedakan menjadi wewenang
garis dan wewenang staf. Wewenang garis merupakan wewenang untuk melaksanakan
secara langsung tujuan dasar organisasi. Kepala bagian penjualan menduduki
garis karena posisinya berhubungan langsung dengan pelaksanaan tujuan dasar
organisasi, yaitu menjual barang dagangan. Kepala bagian akuntansi adalah hanya
menduduki posisi staf karena posisinya berhubungan tak langsung dengan
pelaksanaan tujuan dasar. Fungsinya hanya bersifat mendukung, yakni menyediakan
jasa dan bantuan kepada bagian-bagian lain. Analog dengan itu, maka kepala
bagian pembelian juga menduduki posisi staf.
3. Fungsi-fungsi
Manajemen
Sebuah organisasi akan dapat berjalan efektif
dan efisien apabila dikelola dengan sebaik-baiknya. Pengelola organisasi adalah
para manajer, direktur, dewan direksi, ketua, pimpinan, komandan dan lain
sebagainya. Para pengelola organisasi dipandang sebagai suatu kelompok utuh
disebut manajemen. Manajemen tidaklah melakukan strategi-strategi yang telah mereka
tetapkan untuk mencapai tujuan organisasi, melainkan melalui orang lain.
Orang-orang lain itulah yang digerakkan dan dikerahkan untuk mencapai tujuan
organisasi.
Seperti telah dikemukakan, manajemen itu
berjenjang. Terlepas dari jenjangnya, seluruh manajer melakukan fungsi-fungsi
perencanan (planning),
pengorganisasian (organizing),
pengarahan (directing), dan
pengendalian (controlling).
4. Fungsi
Akuntansi
Ditinjau dari disiplin ilmu, akuntansi
keuangan dan akuntansi manajemen adalah cabang-cabang dari disiplin ilmu
akuntansi. Induk kedua tipe akuntansi itu adalah akuntansi. Oleh karena
induknya sama, maka meskipuns sasaran informasinya berbeda, kedua-duanya
melibatkan tiga fungsi berikut.
a. Pencatatan (record keeping) yang berkaitan dengan proses memilih, mengukur, dan
mengumpulkan data transaksi-transaksi keuangan organisasi baik mencari laba
maupun tidak.
b. Evaluasi kinerja (performance evaluation) yang mengarahkan perhatian pihak-pihak yang
berkepentingan terhadap kinerja organisasi berdasarkan laporan-laporan yang
mengklasifikasi dan meringkas hasil usaha perusahaan baik secara keseluruhan
maupun hanya satu segmen (bagian) dari organisasi pada periode trertentu.
c. Pengambilan keputusan (decision-making) oleh pelbagai pihak yang harus memilih antara tindakan-tindakan
alternative yang berhubungan dengan masa depan perusahaan.
5. Kesamaan
antara Akuntansi Manajemen dan Akuntansi Keuangan
Akuntansi Keuangan dan akuntansi manajemen sama dalam dua hal.
Yang pertama, kedua-duanya dibangun dalam satu kaidah yang sama yaitu kaidah pertanggung-jawaban
(stewardship). Perusahaan yang diwakili oleh manajemen harus
mempertanggungjawabkan keuangan dan operasinya kepada seluruh pihak yang
berkepentingan. Akuntansi keuangan berkepentingan terutama dengan operasi
perusahaan secara keseluruhan, sedangkan akuntansi manajemen berkepentingan
dengan satuan-satuan pertanggungjawaban untuk menyediakan pelaporan
pertanggungjawaban keuangan perusahaan yang lebih rinci.
Kedua, akuntansi keuangan dan
akuntansi manajemen dibangun dalam satu sistem akuntansi umum, tidak dalam dua
sistem terpisah. Menyelenggarakan dua sistem terpisah dilarang oleh lembaga
yang berwenang (misalnya otoritas pajak). Seandainya tidak dilarang pun, cost
menyelenggarakan dua sistem terpisah itu mahal karena memerlukan duplikasi
waktu dan buku-buku akuntansi.
6. Akuntansi
Manajemen versus Akuntansi Keuangan
Perbedaan antara akuntansi manajemen dan
akuntansi keuangan dapat dijelaskan secara singkat sebagai berikut :
a.
Focus Informasi pada akuntansi manajemen adalah kepada
manajemen untuk keputusan internal, sedangkan pada akuntansi keuangan adalah
pihak eksternal.
b.
Jenis Klasifikasi dan pengukuran serta cara pelaporan informasi
akuntansi manajemen ditentukan sendiri oleh manajemen sebagai pihak pengguna.
Hal-hal tersebut untuk akuntansi keuangan, sebaliknya ditentukan oleh
prnsip-prinsip akuntansi berlaku umum (generally
accounting principles). Manajemen tidak bebas untuk memilih informasi untuk
pihak luar. Jadi, unsur kebebasan dalam memilih informasi, misalnya, merupakan
pembeda antara akuntansi manajemen dan akuntansi keuangan.
c.
Fokus Waktu pada
akuntansi manajemen adalah masa mendatang, sedangkan focus waktu pada akuntansi
keuangan masa lalu. Dalam penerapannya, akuntansi manajemen juga menggunakan
data masa lalu. Namun, data tersebut digunakan sebagai dasar untuk membuat
prediksi tentang apa yang akan terjadi di masa mendatang.
d.
Kesatuan Akuntansi (accounting
entity) pada akuntansi manajemen adalah segmen yang dapat berupa bagian,
departemen, produk, lini produk, divisi dan lain sebagainya. Oleh karena itu,
laporan untuk kepentingan penilaian dan pertanggungjawaban dibuat berdasarkan
kesatuan akuntansi tersebut. Sebaliknya, kesatuan akuntansi pada akuntansi
keuangan dihubungkan dengan pelaporan eksternal, sehingga perusahaan secara
keseluruhan itulah dipandang sebagai kesatuan akuntansi.
e.
Frekuensi Pelaporan akuntansi manajemen bergantung pada kebutuhan
manajemen berdasar mingguan, bulanan, semesteran atau interval waktu lain. Pada
akuntansi keuangan, frekuensi pelaporan biasanya berdasarkan interval waktu
satu tahun.
f.
Objektivitas dan Keberdayaujian tidak menjadi pertimbangan utama pada
akuntansi manajemen sebab informasinya lebih terfokus ke masa depan, sedangkan
pada akuntansi keuangan dua hal tersebut merupakan pertimbangan utama untuk
meyakinkan bahwa informasi tidak bias terhadap kepentingan manajemen.
g.
Integrasi dengan disiplin ilmu pada akuntansi manajemen lebih banyak,
misalnya dengan makroekonomika, manajemen keuangan, matematika, statistika,
psikologi, dan lain sebagainya. Meskipun juga berinteraksi dengan disiplin ilmu
lain, akuntansi keuangan tidak berintegrasi terlalu banyak dengan pelbagai
disiplin diatas.
7. Karakteristik
Informasi yang Berguna
Kualitas informasi sangat menentukan kualitas
keputusan yang diambil oleh manajemen. Agar keputusan manajemen berkualitas,
informasi akuntansi manajemen harus memiliki karakteristik keterpautan (relevance), ketepatan (accuracy), ketepatwaktuan (timeliness), keterpahaman (understandability), dan
efektifitas-biaya (cost-effectiveness).
Keterpautan
Informasi haruslah mempunyai sifat keberpautan
dengan keputusan yang akan dibuat. Dua keputusan yang berbeda membutuhkan
informasi yang berbeda pula. Oleh karena itu, informasi yang disampaikan harus
selaras dengan keputusan yang sedang dipertimbangkan. Informasi dianggap
relevan oleh akuntansi manajemen apabila berkaitan dengan hal-hal yang akan
terjadi dan berbeda diantara pelbagai alternatif. Dalam akuntansi manajemen
dikenal istilah different costs for
different purposes. Tidak satupun jenis informasi yang relevan untuk segala
macam keputusan.
Ketepatan
Keputusan selalu menyangkut masa
depan, bukan masa lalu. Oleh karena itu, informasi yang dibutuhkan haruslah
informasi tentang hal-hal yang akan datang sesuai keputusan yang akan dibuat.
Masa mendatang penuh dengan ketidakpastian. Tentu saja, informasi mengenai apa
yang akan terjadi hanyalah merupakan prediksi dan taksiran. Meskipun demikian,
informasi haruslah mempunyai sifat ketepatan (keakuratan) agar informasi itu ada
nilai gunanya. Jika informasi tunggal dianggap kurang akurat, maka perlu dibuat
kisaran informasi dengan pelbagai tingkat probabilitas. Misalnya, informasi
tentang penjualan yang mungkin akan dicapai tahun depan disajikan dalam kisaran
antara 4 sampai 5 juta rupiah dengan pelbagai probabilitas.
Kondisi
Penjualan Probabilitas
Penjualan
Ekonomi
Taksiran
(1) (2) (3) (4)
|
Buruk 4.000.000 20% 800.000
Sedang 4.500.000 40% 1.800.000
Baik 5.000.000 20% 1.000.000
Penjualan Taksiran (Rata-rata) …………………. 3.600.000
|
Informasi
seperti diatas mungkin lebih baik ketimbang, misalnya penjualan tahun depan
diperkirakan Rp 3.600.000 yang seakan-akan probabilitasnya adalah 100 persen.
Penggunaan informasi penjualan dengan pelbagai probabilitas memungkinkan
akuntan untuk memperkirakan resiko tidak tercapainya penjualan taksiran. Ukuran
resiko secara statistis adalah deviasi standar. Silahkan berkonsultasi dengan
buku-buku statistika untuk menghitung deviasi standar.
Ketepatwaktuan
Informasi
harus mempunyai sifat ketepatwaktuan. Artinya, informasi harus disajikan
sebelum ia kehilangan kapasitasnya untuk mempengaruhi keputusan. Ketepatwaktuan
itu penting mengingat perusahaan bekerja dalam kondisi yang selalu berubah dari
waktu ke waktu apabila disajikan sedini mungkin pada saat keputusan akan diambil.
Jika tidak, maka informasi tidak ada gunanya lagi. Ketepatwaktuan menjadi
karakteristik yang semakin dapat dicapai setelah banyak perusahaan menggunakan
teknologi komputer.
Keterpahaman
Meskipun manajemen pada umumnya ahli
dibidang bisnis, namun tidak tertutup kemungkinan mereka tidak tahu persis
istilah-istilah akuntansi. Oleh karena itu, informasi akuntansi manajemen harus
bersifat dapat dipahami. Cara penyajiannya hartus sedemikian rupa sehingga
manajemen memahami maksud dan makna istilah-istilah yang dipakai.
Efektifitas
Biaya
Manfaat
informasi akuntansi manajemen harus melebihi kos untuk memperolehnya. Informasi
tidak berguna jika dihasilkan dengan pengorbanan yang melebihi manfaatnya. Oleh
karena itu, akuntansi manajemen harus dirancang sedemikian rupa agar kos untuk
memperoleh informasi yang relevan tidak melebihi manfaatnya.
B. KONSEP-KONSEP
KOS
1.
Konsep Kos
Kos
tidak boleh disamakan dengan biaya (expense)
ataupun asset. Dalam akuntansi keuangan. Definisi kos yang paling mudah
dipahami adalah bahwa kos merupakan harga
yang disepakati oleh pihak-pihak yang bertransaksi ketika transaksi terjadi. Sesaat
setelah transaksi terjadi kos tersebut menjadi kos historis.
Anggaplah sebagai penjelas, bahwa
sediaan (inventory) pada saat ini
dibeli tunai dengan harga Rp 100.000. Jumlah seratus ribu rupiah inilah yang
menjadi kos pada transaksi pembelian dan menjadi kos historis setelah transaksi
berlalu. Sepanjang sediaan belum terjual, maka sediaan adalah asset perusahaan.
Menurut akuntansi berbasis kos historis, sediaan tersebut diukur sebesar kos
historis, yakni Rp 100.000. Jika sediaan tersebut telah terjual, maka akuntansi
akan melaporkannya sebagai biaya di laporan laba-rugi. Biaya tersebut, menurut
akuntansi berbasis historis, diukur sebagai kos historis, yakni Rp 100.000.
Perhatikan penjelasan tadi. Asset
(berupa sediaan) di neraca dan biaya historis. Jadi, kos adalah pengukur elemen
laporan keuangan. Ia tidak sama dengan biaya ataupun asset.
Masih tentang kos, anggaplah bahwa
sediaan diatas yang kos historisnya Rp 100.000 dijual secara kredit dengan
harga (jual) sebesar Rp 150.000. Jumlah seratus lima puluh ribu rupiah ini
adalah harga yang disepakati oleh pihak pembeli dan pihak penjual ketika
transaksi terjadi dan, oleh karena itu merupakan kos pada transaksi penjualan.
2.
Klasifikasi Kos Berdasar Fungsi Perusahaan
Untuk
menjalankan usaha dengan baik, perusahaan membagi-bagi kegiatan berdasarkan
fungsi-fungsi pokok. Pada perusahaan pemanufakturan, misalnya, kegiatan dibagi
dalam fungsi produksi dan fungsi nonproduksi. Fungsi produksi bertugas dan
bertanggungjawab untuk memproduksi barang dengan kualitas tertentu. Fungsi non
produksi, yang juga disebut fungsi komersial, terdiri atas fungsi administrasi
dan fungsi pemasaran.
Kos Produksi
adalah kos yang diperlukan untuk memperoleh bahan baku (mentah) dari pemasok
dan mengubahnya menjadi produk selesai yang siap dijual. Elemen kos produksi
terdiri atas kos bahan baku, kos tenaga kerja langsung, dan kos overhead pabrik.
Elemen-elemen Kos Produksi
Kos
produksi pada perusahaan pemanufakturan terdiri atas elemen-elemen kos bahan
baku, kos tenaga kerja langsung, dan kos overhead
pabrik.
Bahan Baku adalah
bahan yang digunakan untuk membuat produk selesai. Bahan baku dapat
diidentifikasi ke produk dan merupakan bagian integral dari produk tersebut.
Tenaga Kerja Langsung adalah tenaga kerja yang langsung menangani
proses produksi.
Overhead Pabrik adalah kos-kos selain bahan baku tenaga kerja
langsung yang diperlukan untuk memproduksi barang disebut kos overhead pabrik (factory overhead atau factory burden). Andaikan perusahaan
hanya memproduksi satu jenis produk, maka overhead pabrik termasuk kos langsung
produk sebab kos tersebut dapat diidentifikasi ke kos yang diproduksi tadi.
Namun, andaikan perusahaan memproduksi lebih dari satu jenis produk, maka
overhead pabrik terhadap produk adalah hubungan tak langsung. Disebut sebagai
kos tak langsung sebab kos yang diserap oleh satu jenis produk diantara
produk-produk lainnya tidak dapat diidentifikasi secara langsung ke produk. Upah
mandor pada pabrik yang membuat dua jenis produk misalnya tidak dapat
diidentifikasi secara langsung berapa porsi dari upah tersebut yang diserapa
oleh produk A dan berapa dari produk B. Upaya untuk menentukan porsi tersebut
dilakukan dengan cara mengalokasikan dengan memilih salah satu dari pelbagai
metode yang tersedia. Termasuk klasifikasi overhead pabrik adalah bahan tak
langsung, upah tak langsung, penyusutan mesin dan peralatan pabrik, penyusutan
gedung pabrik, bahan habis pakai untuk pabrik, pajak bumi dan bangunan untuk
gedung pabrik, kos pemeliharaan mesin-mesin dan peralatan pabrik, dan kos
listrik untuk penerangan dan pembangkit tenaga pabrik.
Beberapa
jenis upah yang dibayar untuk tenaga kerja langsung terkadang diklasifikasi ke
dalam overhead pabrik. Misalnya, insentif upah lembur dan upah selama waktu
menganggur karena kerusakan mesin, kekurangan bahan dan gangguan pabrik. Contoh
insentif upah lembur adalah sebagai berikut.
Seorang pekerja
(tenaga kerja langsung) biasanya bekerja 7 jam dalam sehari dengan tarif upah
Rp. 1.000 per jam. Pada suatu hari, atas perintah mandor ia bekerja 9 jam
dengan upah diluar jam kerja normal sebesar Rp. 1.300 perjam. Dengan kata lain,
insentif lembur perjam adalah Rp. 300 rupiah perjam. Oleh karena kerja
lemburnya adalah 2 jam, maka insentif adalah 600 rupiah. Jumlah inilah yang
dimasukkan sebagai kos overhead.
Kos-kos selain upah yang berhubungan
dengan penggunaan tenaga kerja pabrik, seperti tunjangan pensiun, tunjangan
asuransi, tunjangan hari raya dan tunjangan pajak pengahasilan karyawan disebut
fringe benefit. Kos-kos tersebut yang
dibayarkan kepada tenaga kerja langsung dapat diklasifikasikan sebagai elemen
kos tenaga kerja langsung ataupun kos tenaga kerja tak langsung.
3.
Klasifikasi Kos Berdasarkan Periode
Penandingan
Akuntansi
(keuangan) menggunakan konsep proper
matching costs against revenues. Agar konsep penandingan kos terhadap
pendapatan diterapkan secara wajar, maka perlu pembagian kos menjadi kos produk
(produk costs) dan kos periode (period cost).
Kos
Produk adalah kos untuk memperoleh
atau memproduksi barang/produk. Kos ini dipertemukan (ditandingkan) dengan
pendapatan pada periode penjualan produk. Kos produk pada perusahaan
pemanufakturan adalah kos baik langsung maupun tak langsung yang dikeluarkan
untuk memproduksi barang/produk. Pada perusahaan dagang, kos terdiri atas kos
untuk memperoleh barang dagangan, yang meliputi, antara lain harga beli dan kos
pengangkutan. Kos produk baik pada perusahaan dagang maupun pada perusahaan
pemanufakturan disebut juga inventoriable
cost, artinya kos yang dapat dilekatkan kepada sediaan (inventory). Ingatlah dari pembahasan
sebelumnya bahwa kos yang melekat pada barang jadi harus dilaporkan sebagai
asset di neraca selama barang tersebut belum dijual. Apabila barang tersebut
telah dijual, maka kos yang melekat padanya dilaporkan sebagai biaya (dengan
nama harga pokok penjualan ataupun kos barang terjual). Perlakuan demikian
sesuai dengan konsep bahwa kos ditandingkan dengan pendapatan (revenue) pada periode yang bersesuaian.
Kos
Periode adalah kos yang
diidentifikasi dengan interval waktu tertentu karena tidak diperlukan untuk
memperoleh barang/produk yang akan dijual. Kos periode diakui sebagai biaya
atau expense pada periode terjadinya.
Artinya, ia ditandingkan dengan pendapatan ketika kos itu terjadi. Kos ini
tidak boleh dimasukkan sebagai elemen kos sediaan dan oleh karena itu disebut
juga non-inventoriable cost. Contoh
kos periode adalah gaji manajer pemasaran, gaji direktur, penyusutan gedung
kantor administrasi, kos iklan, kos listrik untuk kantor administrasi dan
pemasaran, rekening langganan Koran, kos telepon dan lain sebagainya.
4.
Klasifikasi Kos Berdasarkan Dapat
Ditelusurinya ke Objek Kos
Objek Kos
adalah objek yang menjadi sasaran kos. Objek kos dapat berupa produk,
departemen, atau kegiatan. Untuk penilaian sediaan dalam perusahaan
pemanufakturan, misalnya objek kosnya adalah produk selesai atau produk yang
sedang diproses. Akuntansi manajemen menggunakan beberapa objek kos dengan
pemilihan spesifik, bergantung pada sifat bisnis dan kehendak manajemen. Jika
objek kosnya adalah produk, maka dikenal kos langsung produk dan kos tak
langsung produk. Jika objek kosnya adalah departemen maka dikenal kos langsung
departemen dan kos tak langsung departemen.
Kos Langsung (direct cost) adalah kos
yang dapat ditelusur atau diidentifikasi ke suatu objek kos itu sendiri. Adapun
kos tak langsung (indirect cost) adalah kos yang
dikeluarkan untuk lebih dari satu objek kos dan tidak dapat ditelusur secara
langsung ke salah satu objek kos tertentu, oleh karena itu kos tersebut
bersifat umum dan disebut common cost.
5.
Klasifikasi Kos Berdasarkan Pengambilan Keputusan
Klasifikasi lain yang penting adalah pembedaan
kedalam kos relevan levant cost) dan
kos tak relevan (irrelevant cost),
kos terhindarkan (avoidable cost) dan
kos tak terhindarkan (unavoidable cost).
Kos Relevan adalah kos yang akan terjadi di masa mendatang dan berbeda
diantara pelbagai alternatif keputusan. Dua kriteria “akan terjadi” dan
“berbeda” harus dipenuhi agar suatu kos disebut kos relevan. Oleh karena adanya
dua kriteria itu, maka kos relevan harus dipertimbangkan di dalam membuat
keputusan.
Kos Tak Relevan adalah kos yang tidak memenuhi salah satu atau kedua-duanya dari
kriteria kos relevan. Oleh karena itu kos tak relevan tidak perlu
dipertimbangkan didalam pengambilan keputusan. Nilai buku tidak perlu asset
tetap yang sekarang digunakan merupakan contoh kos tak relevan. Nilai buku
adalah kos asset tetap yang belum didepresiasi. Keputusan apapun yang akan
diambil oleh manajemen terhadap asset tersbut tidak akan dapat mengubah kos
yang masih tersisa itu.
Kos Terhindarkan adalah kos yang dapat dihindarkan jika salah satu alternatif
keputusan diambil. Misalnya, perusahaan mempunyai tiga bagian penjualan lini
produk A,B, dan C. Jika bagian lini produk A akan ditutup maka gaji pegawai
pada bagian itu dapat dihindarkan, dalam arti tidak akan lagi dikeluarkan gaji
tersebut. Akan tetapi kos penyusutan ruangan yang ditempati bagian itu tidak
akan dapat dihindarkan.
6.
Klasifikasi Kos Berdasarkan Dampak Keputusan
Terhadap Kas Keluar
Klasifikasi kos yang lebih spesifik lagi
adalah sunk cost dan out-of-pocket cost. Sunk cost adalah kos yang telah dikeluarkan dan
yang tidak dapat diubah oleh keputusan sekarang atau masa yang akan datang.
Oleh karena tidak dapat diubah oleh keputusan sekarang atau masa yang akan
datang, kos tersebut tidak dapat menganalisa alternative tindakan yang akan
datang. Dengan kata lain kos ini tidak akan pernah relevan dengan pengambilan
keputusan sekarang.
Untuk memberi gambaran, anggaplah bahwa
perusahaan baru saja, mengeluarkan kas Rp 5.000.000 untuk membeli mesin giling gabah.
Pengeluaran untuk investasi ini telah dilakukan sebagai akibat keputusan masa
lalu. Oleh karena itu, kos yang melekat pada mesin giling gabah tersebut adalah
sunk cost. Mungkin saja, di masa
mendatang investasi ini dianggap tidak menguntungkan, keputusan apapun yang
akan diambil sehubungan sengan mesin giling gabang diatas tidak akan pernah
mengubah jumlah Rp 5.000.000 tersebut.
Kos
Tunai (out-of-pocket cost) adalah kos yang membutuhkan pengeluaran kas
dimasa mendatang akibat keputusan sekarang atau keputusan yang akan datang.
Sebagai contoh, perusahaan sekarang mengambil keputusan untuk melakukan
ekspansi usaha. Keputusan ini mengakibatkan munculnya kos tertentu seperti upah
karyawan yang akan dipekerjakan dan bahan habis pakai yang akan digunakan. Kos
ini sudah barang tentu memerlukan pengeluaran kas, itulah kos tunai.
7.
Klasifikasi Lain : Kos Kesempatan
Kos Kesempatan (opportunity cost)
adalah manfaat potensial yang hilang atau dikorbankan karena dipilihnya satu
alternative keputusan tertentu. Manfaat potensial ini dapat berupa pendapatan (revenue), laba bersih (net income), ataupun penghematan kos (cost saving). Sebagai contoh, sebuah
perusahaan pengangkutan sedang menghadapi dua pilihan. Pilihan pertama adalah
mengoperasikan bisnya untuk pengangkutan umum dengan laba bersih taksiran
sebulan Rp 3.000.000. Pilihan kedua adalah menyewakan bisnya kepada perusahaan
lain dengan pendapatan sewa taksiran sebulan Rp 3.500.000 tanpa harus
mengeluarkan kos. Apabila perusahaan memutuskan untuk mengambil pilihan
pertama, maka kos kesempatannya adalah Rp 3.500.000. Seandainya perusahaan
memutuskan untuk mengambil pilihan kedua maka kos kesempatannya adalah Rp
3.000.000. Manakah keputusan yang harus dipilih? Keputusan yang paling tepat
adalah memilih alternatif yang kos kesempatannya paling rendah, yakni
menyewakan bisnya kepada perusahaan lain.
Kos Kesempatan tidak dicatat di akun buku besar. Kos kesempatan hanya ada dalam
pengertian ekonomik. Dalam menentukan besarnya kos, jumlah kos kesempatan harus
diperhitungkan pada alternatif yang dipilih untuk menentukan true cost.
C. PENGAMBILAN
KEPUTUSAN JANGKA PENDEK
1.
Pengambilan Keputusan
Pengambilan keputusan (decision making) adalah memilih salah
satu diantara pelbagai alternatif tindakan yang ada. Pemilihan ini biasanya
menggunakan dasar ukuran tertentu, apakah profitabilitas atau penghematan kos.
Keputusan-keputusan sebagaimana telah disebutkan contohnya diatas memerlukan
informasi. Semakin tinggi kualitas informasi, semakin tinggi kualitas keputusan
yang diambil. Informasi akuntansi manajemen menyediakan informasi kuantitatif,
meskipun informasi yang dibutuhkan oleh manajemen meliputi juga informasi
kualitatif seperti kesan masyarakat, instuisi manajemen, tanggung-jawab social,
reaksi pelanggan, sikap karyawan dan sebagainya. Meskipun hanya memberikan
informasi kuantitatif, bukan berarti akuntansi manajemen tidak berguna.
Setidak-tidaknya sebagian dari kebutuhan manajemen sudah dapat dipenuhi
olehnya. Bahwa manajemen menggunakan informasi kuantitatif dalam mengambil
keputusan adalah sesuatu yang tidak dapat disangkal.
Para manajer berusaha menyusun situasi
pengambilan keputusan dalam bentuk kuantitatif sebanyak mungkin, sehingga
pilihan diantara pelbagai alternatif dapat dibuat dengan dasar yang sistematik.
Jadi, dengan informasi kuantitatif, para pengambil keputusan : (1) dapat
mengikuti proses logis di dalam memilih pelbagai alternatif, (2) dapat
mempertanggungjawabkan setiap langkah yang diambil, dan (3) dapat mengevaluasi
hasil-hasil yang dicapai.
Proses pengambilan keputusan meliputi
empat tahap berikut.
1. Menentukan masalah dengan penekanan pada
tujuan yang hendak dicapai.
2. Mengidentifikasi pelbagai alternatif tindakan.
3. Mendapatkan informasi relevan dan menyngkirkan
informasi yang tidak relevan, dan
4. Membuat keputusan.
2.
Analisis Diferensial
Analisis Diferensial (differential
analysis) adalah sebuah model keputusan yang dapat digunakan untuk
mengevaluasi perbedaan-perbedaan dalam pendapatan dan kos yang berkaitan dengan
pelbagai alternatif tindakan. Kos-kos yang dipertimbangkan didalam analisis
diferensial bukannya kos-kos yang digunakan didalam pelaporan keuangan
konvensional. Untuk tujuan pengambilan keputusan, klasifikasi kos meliputi : relevan cost, differential cost, unavoidable
cost, sunk cost, dan opportunity
cost.
Kos Relevan (relevant cost) adalah
kos yang akan terjadi di masa yang akan datang dan berbeda diantara pelbagai
alternative yang sedang dipertimbangkan didalam suatu keputusan. Dua kriteria :
(1) akan terjadi, dan (2) berbeda, merupakan suatu kesatuan yang harus
terpenuhi agar kos dapat dinamakan kos relevan.
Sebagai contoh, anggaplah sebuah perusahaan
sedang mempertimbangkan apakah akan membeli mesin photocopy merk A atau merk B.
Baik membeli merk A ataupun merk B, perusahaan harus mempekerjakan operator
dengan gaji perbulan Rp. 30.000. Oleh karena itu besarnya gaji yang dibayarkan
sama, maka kos gaji dalam kasus ini bukanlah merupakan kos relevan. Apabila dalam
kasus ini, gaji operator untuk mesin merk A Rp. 30.000 tetapi untuk mesin B
hanya Rp. 25.000 per bulan, maka gaji operator adalah kos relevan. Selisih gaji
operator sebesar Rp. 5.000 disebut kos diferensial (differential cost). Kos diferensial adalah perbedaan kos relevan
antara dua alternatif atau lebih.
Semua
kos selain kos tak terhindarkan (unavoidable
cost) adalah relevan untuk pengambilan keputusan. Kos tak terhindarkan
adalah kos yang tidak akan berbeda diantara pelbagai alternatif keputusan, apakah
kos itu akan terjadi dimasa mendatang atau telah dimasa lalu. Contoh kas yang
telah terjadi adalah kos penyusutan dari sebuah mesin yang sedang
dipertimbangkan untuk diganti dengan mesin baru. Kos masa lalu ini disebut sunk cost.
Kos
Kesempatan (opportunity cost) adalah manfaat (benefit) yang dikorbankan karena menolak satu alternatif, sementara
menerima alternatif lain. Manfaat yang dikorbankan dapat berupa pendapatan atau
penghematan kos (cost-saving).
Contohnya sebagai berikut. Ada sebuah ruangan yang belum dimanfaatkan pada
perusahaan X. Ruangan ini sebenarnya dapat disewakan selama setahun kepada
mahasiswa dengan tarif Rp. 1.500.000. Jika manajer membiarkan ruangan itu
menganggur, maka ada pendapatan yang hilang sebesar Rp. 1.500.000. Pendapatan yang
hilang karena menolak menyewakan ruangan ini adalah opportunity cost.
Contoh
lain. Untuk memproduksi produk tertentu, perusahaan dihadapkan pada pemakaian
mesin X atau mesin Y. Jika mesin X yang akan dipakai, kos tenaga kerja per
jamnya Rp. 1.000, tetapi jika mesin Y yang akan dipakai, kos tenaga kerja per
jamnya adalah Rp. 800. Manajer memutuskan untuk menggunakan mesin X. Dalam
contoh ini, akan ada pemborosan Rp. 200 (Rp.1000 dikurangi Rp.800). Itulah
penghematan kos yang hilang karena manajer menolak mesin Y dan disebut opportunity cost. Opportunity cost harus
diperhitungkan sebagai kos pada alternative yang dipilih. Perhitungan demikian
berguna dalam rangka menentukan true cost
pada alternatif yang dipilih. Jika diterapkan pada contoh ini, maka kos
pemakaian mesin X adalah Rp. 1.200 yaitu Rp. 1.000 gaji/upah yang akan
dikeluarkan ditambah dengan pemborosan Rp. 200. Meskipun terkategori sebagai opportunity cost, kos ini dicatat dalam
rekening buku besar.
3.
Menerima atau Menolak Pesanan Khusus
Menerima atau menolak pesanan khusus
adalah dua alternatif keputusan yang adakalanya dihadapi oleh manajemen.
Pesanan khusus adalah pesanan di luar penjualan normal, biasanya dengan harga
yang lebih rendah daripada harga jual normal. Keputusan tentang harga jual produk
(jasa) dalam jangka pendek (masih ada kapasitas yang menganggur), penentuan
harga jual dapat dilakukan dengan hanya mempertimbangkan differential cost. Oleh karena itu, pesanan khusus mungkin menarik,
meskipun harganya lebih rendah daripada harga jual normal. Analisis diferensial
dapat digunakan untuk mengevaluasi differential
revenue and cost yang berhubungan dengan pesanan khusus ini. Harga jual
yang diterima menurut analisis ini hanya berlaku untuk jangka pendek, bukan
untuk kegiatan regular perusahaan jangka panjang.
Untuk member gambaran, anggaplah bahwa
sebuah perusahaan berkapasitas maksimum 10.000 unit produk. Selama ini
perusahaan hanya beroperasi pada kapasitas normal 8.000 unit. Perusahaan sedang
mempertimbangkan pesanan khusus sebanyak 1.500 unit dengan harga jual Rp 14
yang lebih rendah daripada harga jual normal Rp 20. Perhitungan laba-rugi
dengan format margin kontribusi untuk tahun lalu adalah sebagai berikut :
Perhitungan Laba-Rugi dengan Pendekatan Margin
Kontribusi
Penjualan (8.000 @ Rp 20) Rp
160.000
Harga Pokok Penjualan variabel (8.000 x Rp
11*) 88.000
Margin kontribusi
72.000
Biaya Tetap :
Overhead Rp
34.000
Administrasi dan penjualan 20.000 54.000
Laba bersih
Rp 18.000
Dengan menganggap bahwa struktur kos
tidak akan berubah untuk periode kini, maka secara cepat dapat diambil
keputusan menerima pesanan khusus. Dari perhitungan diatas dapat diperkirakan
bahwa kos yang akan bertambah dengan adanya pesanan khusus adalah kos variable
saja (sebesar Rp 11 per unit). Inilah kos yang relevan, yang harus
dipertimbangkan dalam pembuatan keputusan. Adapun kos tetap, jumlahnya akan
tetap tanpa memandang diterima atau ditolaknya pesanan khusus. Oleh karena itu,
kos tetap pada contoh ini tidak relevan dan tidak perlu dipertimbangkan dalam
pembuatan keputusan. Jika pesanan khusus diterima, maka tambahan margin
kontribusi total adalah Rp 4.500 sebagaimana ditunjukkan oleh analisis
diferensial yang ada di tabel berikutnya.
Laba bersih bertambah Rp. 4.500
meskipun harga pesanan khusus lebih rendah daripada harga jual normal. Pesanan
khusus diterima karena member margin kontribusi positif. Selama harga jual
masih dapat menutup kos variable, maka menerima pesanan khusus adalah keputusan
yang sehat. Jadi harga minimum yang dapat diterima adalah sebesar kos variabel.
Analisis Diferensial Dengan dan Tanpa Pesanan
Khusus
|
Tanpa
Pesanan
Khusus
(1)
|
Dengan
Pesanan
Khusus
(2)
|
Beda
(3) = (2) - (1)
|
Penjualan :
8.000 x Rp 20
1.500 x Rp 14
Biaya Variabel :
8.000 x Rp 11
1.500 x Rp 11
Margin Kontribusi
Biaya Tetap :
Overhead
Administrasi & Penjualan
Laba Bersih
|
160.000
-
160.000
88.000
-
72.000
34.000
20.000
54.000
18.000
|
160.000
21.000
181.000
88.000
16.500
76.500
34.000
20.000
54.000
22.500
|
-
21.000 A
21.000
-
16.500 B
4.500
-
-
-
4.500 C
|
A. Differential Revenue
B. Differential Cost
C. Differential Income
|
Analisis yang salah dapat terjadi
apabila kita menggunakan perhitungan laba dengan format pendekatan fungsional.
Jika disusun dengan format ini, maka harga pokok penjualan adalah sebesar Rp
14,25 per unit, dihitung sebagaimana perhitungan pada table dibawah ini.
Harga Pokok Penjualan
Dengan pendekatan Fungsional
Bahan
Baku Rp.
4,00
Tenaga
Kerja Langsung Rp.
4,00
Overhead variabel Rp.
2,00
Overhead tetap : 34.000 : 8.000 Rp.
4,25
Rp.
14,25
Oleh karena harga pokok penjualan per
unit sebesar Rp 14,25 (lebih tinggi daripada harga pesanan khusus) maka
kesimpulan yang diambil adalah menolak pesanan khusus. Ini adalah kesimpulan
yang keliru karena mempertimbangkan biaya (overhead)
tetap yang sebenarnya tak relevan. Kesalahan lain pada contoh ini adalah tidak
dipertimbangkannya biaya administrasi dan penjualan variabel yang sebenarnya
relevan. Untuk menghindari kesalahan seperti ini, maka amat dianjurkan untuk
menggunakan informasi dari laporan atau perhitungan laba rugi dengan format
margin kontribusi.
Biaya overhead tetap, pada contoh ini,
tidak akan berubah apakah keputusan yang diambil adalah menerima atau menolak
pesanan khusus. Sebabnya adalah pesanan khusus hanya berjumlah 1.500 unit yang
masih berada dibawah kapasitas menganggur 2.000 unit (kapasitas maksimum
dikurangi kapasitas normal : 10.000 unit – 8.000 unit).
Jika pesanan khusus melampaui
kapasitas maksimum misalnya 3.000 unit, maka dibutuhkan mesin (peralatan)
tambahan untuk memenuhi pesanan. Pertambahan peralatan ini akan menambah biaya
tetap (berupa penyusutan, upah mandor, dan lain sebagainya). Pada kondisi
demikian, maka biaya tetap pun menjadi relevan, dan oleh karena itu harus
dipertimbangkan dalam pengambilan keputusan. Pesanan khusus, dengan analisis
differensial, hanya dapat diterima apabila differential
revenue lebih tinggi daripada atau setidak-tidaknya sama dengan differential cost.
Konsep opportunity cost dapat diterapkan dalam kondisi lain, misalnya
menggunakan kapasitas yang menganggur untuk memproduksi lain, bukannya untuk
melayani pesanan khusus. Apabila dalam alternatif ini differential income (differential revenue minus differential cost) lebih
tinggi daripada alternative menerima pesanan khusus, maka alternatif inilah
yang lebih bijaksana untuk diambil.
4.
Menambah atau Memberhentikan Departemen atau
Produk
Manajemen selalu dihadapkan dengan keputusan-keputusan
yang melibatkan pemilihan kombinasi produk yang menghasilkan laba yang
tertinggi. Bila ada produk baru, maka pendapatan dan biayanya yang harus
dievaluasi secara hati-hati untuk meyakinkan apakah labanya cukup besar untuk
membenarkan keputusan menjual produk tersebut.
Jika
ada produk baru, dapat saja terjadi bahwa produk lama mulai pudar ketenarannya
karena ada perubahan preferensi konsumen dan menjadi tidak menguntungkan lagi.
Jika produk lama tidak menggunakan lagi, maka sebaiknya produk ini
diberhentikan. Keputusan-keputusan mengenai penambahan atau pemberhentian
produk atau departemen tertentu harus dilakukan dengan hati-hati.
Pertimbangan-pertimabangan dalam keputusan menambah atau memberhentikan produk
adalah apakah produk dimasa yang akan datang akan member peningkatan laba
bersih perusahaan. Analisis diferensial dapat digunakan untuk mengevaluasi
pengaruh penambahan atau pemberhentian ini pada laba di masa yang akan datang.
Untuk
memberi gambaran bagaimana analisis diferensial dapat diterapkan pada situasi
penambahan atau pemberhentian produk/departemen, digunakan perhitungan
laba-rugi perusahaan dagang berikut :
|
Departemen
ALPHA
|
Departemen
BETA
|
TOTAL
|
Penjualan
Biaya Variabel
Margin Kontribusi
Biaya Tetap :
Gaji Pramuniaga
Iklan
Asuransi
Pajak Bumi dan Bangunan
Penyusutan
Rupa-rupa
Total
Laba bersih
|
300.000
250.000
50.000
40.000
24.000
900
1.500
21.000
600
88.000
(38.000)
|
700.000
440.000
260.000
84.000
56.000
2.100
3.500
49.000
1.400
196.000
(64.000)
|
1.000.000
690.000
310.000
124.000
80.000
3.000
5.000
70.000
2.000
284.000
26.000
|
Analisis
secara tidak berhati-hati terhadap perhitungan diatas dapat menunutun kepada
kesimpulan bahwa karena Departemen Alpha tidak menguntungkan, maka manajemen
seharusnya memberhentikannya saja. Rugi bersih Rp. 38.000 pada Departemen Alpha
dapat memberi kesan bahwa tanpa adanya departemen tersebut, perusahaan secara
keseluruhan dapat memperoleh laba Rp. 64.000. apakah ini konklusi yang benar?
Meskipun Departemen Alpha tidak member margin kontribusi yang cukup untuk
menutup seluruh biaya tetap departemennya sendiri, namun sudah memberi
sumbangan pada laba perusahaan. Sumbangannya adalah Rp. 50.000 yang terlihat
sebagai margin kontribusi. Andaikan departemen ini ditutup, maka perusahaan
akan kehilangan margin kontribusi Rp. 50.000 tersebut. Namun analisis ini saja
belumlah cukup, karena kita masih memerlukan analisis lebih lanjut untuk
menentukan biaya tetap yang dapat dihindarkan.
Ingatlah
bahwa unavoidable cost akan tetap
terjadi tanpa mengacuhkan alternatif yang dipilih. Konsekuensinya, sebelum
departemen alpha ditutup, tiap-tiap biaya departemen ini harus di evaluasi.
Setelah langkah ini ditempuh, barulah dapat dinilai dengan teliti pengaruh yang
benar dari pemberhentian departemen ini terhadap profitabilitas perusahaan.
Berikut adalah sebuah contoh analisis lanjutan yang perlu diperhatikan secara
seksama.
Biaya
variabel yang tersaji diperhitungan laba-rugi perusahaan dagang dapat
dihindarkan jika Departemen Alpha diberhentikan. Gaji pramuniaga adalah gaji
kepada para karyawan yang bekerja secara eksklusif pada Departemen Alpha,
sehingga jika Departemen Alpha ditutup, para karyawannya dapat diberhentikan
dan gaji pramuniaga departemen ini tidak akan terjadi. Selanjutnya, biaya
iklan, asuransi, pajak bumi dan bangunan, penyusutan, dan rupa-rupa adalah common cost yang dialokasi ke
departemen-departemen. Allocated cost tidak
dapat ditelusuri secara langsung ke departemen tertentu berdasarkan manfaat
yang diterima dari common cost tersebut.
Oleh karena biaya yang bersifat common itu
dialokasikan ke seluruh departemen yang ada, maka biaya tersebut tidak dapat
dihindarkan dengan pemberhentian departemen tertentu. Dengan menerapkan
analisis diferensial, dapat dilihat bahwa laba perusahaan sebenarnya justru
lebih kecil jika Departemen Alpha diberhentikan, sebagaimana dapat dilihat pada
contoh berikut.
|
Total
|
Hanya
Departemen
Beta
|
Selisih
|
Penjualan
Biaya Variabel
Margin Kontribusi
Biaya Tetap :
(Terhindarkan) Gaji Pramuniaga
(Tak Terhindarkan)
(284.000 – 124.000)
Total Biaya Tetap
Laba Bersih
|
1.000.000
690.000
310.000
124.000
160.000
284.000
26.000
|
700.000
440.000
260.000
84.000
160.000
244.000
16.000
|
300.000 TM
250.000 M
50.000
40.000 M
0 Nihil
40.000 M
P[‘
|
Laba bersih
perusahaan turun sebesar Rp. 10.000 yaitu dari Rp. 26.000 jika Departemen Alpha
dippertahankan, menjadi Rp. 16.000 jika Departmen Alpha diberhentikan.
Penurunan laba ini terjadi karena Departemen Beta yang akan dipertahankan hanya
mempunyai margin kontribusi Rp. 260.000 yang harus menutup biaya terhindarkan
departemen itu sendiri sebesar Rp. 84.000 plus biaya tak terhindarkan yang
berjumlah Rp. 160.000. Hasilnya adalah laba bersih turun menjadi Rp. 16.000. Secara
total, laba bersih turun sebesar Rp. 10.000 sehingga penutupan Departemen Alpha
merupakan pilihan yang tidak bijaksana.
Pertimbangan
lain harus diperhitungkan apabila ada alternatif penjualan produk lain sebagai
pengganti ditutupnya Departemen Alpha. Alternatif apapun yang ditempuh, jika
dapat menghasilkan tambahan laba bersih perusahaan diatas Rp. 38.000 adalah
pilihan yang rasional. Konsep yang digunakan pada alternative ini adalah opportunity cost.
5.
Membeli Dari Luar atau Memproduksi Sendiri
Keputusan lain yang penting adalah apakah
perusahaan harus membuat sendiri salah satu suku cadang produknya atau membeli
dari pihak luar. Keputusan ini dihadapi oleh manajemen dalam perusahaan
pabrikasi yang membuat suatu produk dengan menggunakan beberapa suku cadang.
Masalahnya terletak pada dua pilihan, di satu pihak perusahaan mampu
memproduksi sendiri seluruh suku cadangnya, sementara dilain pihak ada satu
suku cadang atau lebih yang tersedia di pasar. Analisis diferensial dapat
digunakan untuk memecahkan masalah ini.
Untuk member gambaran, anggap bahwa perusahaan
selama ini memproduksi sendiri suku cadang A sebanyak 100 unit dengan kos
sebagai berikut :
|
Per Unit
|
Total
|
Bahan Baku
Tenaga Kerja Langsung
Overhead Variabel
Overhead Tetap
|
Rp. 1000
4.000
2.000
3.000
|
Rp. 100.000
400.000
200.000
300.000
|
Total
|
Rp. 10.000
|
Rp. 1.000.000
|
Ada
pemasok yang menawarkan komponen tersebut dengan harga Rp. 8.000 per unit.
Diperkirakan kos pemesanan, penerimaan dan pemeriksaan tiap unit Rp. 1.000. A pakah
perusahaan akan tetap memproduksi sendiri komponen tersebut atau akan membeli
dari pemasok dengan cost Rp. 9.000
(Rp 8.000 + Rp 1.000)?
Secara sepintas kelihatannya perusahaan lebih
baik membeli dari luar karena harganya lebih rendah daripada kos memproduksi
sendiri. Akan tetapi, jika analisis diferensial digunakan, maka jawabannya akan
seperti contoh berikut.
|
Per unit
|
Total 100 unit
|
||
Buat
|
Beli
|
Buat
|
Beli
|
|
Bahan Baku
Tenaga Kerja Langsung
Overhead Variabel
Membeli
|
1.000
4.000
2.000
-
|
-
-
-
9.000
|
100.000
400.000
200.000
-
|
-
900.000
|
Total Kos Relevan
|
7.000
|
9.000
|
700.000
|
900.000
|
Kos overhead pabrik tetap tidak ikut
dipertimbangkan dalam keputusan ini karena tidak relevan. Apakah membeli atau
membuat sendiri, kos ini tidak akan berubah. Dari analisis tersebut, maka
keputusannya adalah tetap memproduksi sendiri suku cadang A. Mengapa demikian?
Jika membuat sendiri, kosnya (yang relevan) adalah Rp 7.000 per unit atau Rp
700.000 total. Jika membeli dari luar, kosnya adalah Rp 9.000 per unit atau Rp
900.000 total. Jadi, membeli dari luar menimbulkan pemborosan Rp 200.000 (Rp
900.000 – Rp 700.000). Dengan kata lain, memproduksi sendiri akan menghemat kos
sebesar Rp 200.000.
Konsep opportunity
cost juga dapat digunakan dalam
kasus ini. Apabila memproduksi sendiri, maka opportunity cost-nya adalah nol, tetapi apabila membeli dari luar,
maka opportunity cost-nya adalah Rp
200.000 (yakni penghematan kos yang hilang karena memilih membeli dari luar dan
menolak memproduksi sendiri). Kasus yang baru dijelaskan ini adalah membiarkan
kapasitas menganggur jika perusahaan membeli dari luar.
Kasus lain yang lebih kompleks dapat didekati
dengan konsep opportunity cost, apabila
perusahaan membeli dari luar, dan kapasitas yang semula untuk memproduksi suku
cadang akan dimanfaatkan untuk membuat produk lain. Misalnya kapasitas semula
daoat digunakan untuk membuat produk X dengan kos dan dapat dijual dengan harga
sebagai berikut.
Harga Jual Per Unit
Harga Pokok Penjualan :
Bahan Baku
Tenaga Kerja Langsung
Overhead Variabel
Overhead Tetap (berdasarkan 100
unit)
Laba (rugi) per unit
Laba (rugi) total (100 x Rp 500)
|
Rp 2.000
8.000
2.000
3.000
|
Rp 14.500
Rp 15.000 (-)
(Rp 500)
(Rp 50.000)
|
Rugi per unit Rp 500 sepintas memberi kesan
bahwa alternatif memproduksi X tidak mungkin diterima sebagai keputusan yang
masuk akal. Kesan ini timbul karena kos overhead tetap per unit Rp 3.000 (atau
totalnya Rp 300.000) ikut diperhitungkan dalam analisis, padahal kos ini tidak
relevan. Kos overhead tetap akan tetap terjadi dan tidak berubah, apakah
kapasitas yang ada dibiarkan menganggur atau dimanfaatkan untuk memproduksi X.
Oleh karena itu, kos tak terhindarkan ini harus dikeluarkan dari analisis
diferensial. Bila langkah ini ditempuh, maka kos produksi per unit hanyalah Rp
12.000 (Rp 2.000 + Rp 8.000 + Rp 2.000), dan margin kontribusi tambahannya per
unit Rp 2.500 atau totalnya Rp 250.000.
Masalah yang dihadapi oleh manajemen adalah
apakah akan mengambil keputusan (1) membeli suku cadang dari luar dengan
membiarkan kapasitas terdahulu menganggur, atau (2) membeli suku cadang dari
luar dengan memanfaatkan kapasitas yang ada untuk memproduksi X? Untuk
memecahkan ini, bekerjanya konsep opportunity cost adalah sebagai berikut.
Bila keputusan nomor (1) diambil , maka opportunity
cost adalah Rp 250.000 (yakni tambahan kontribusi total yang hilang karena
tidak memproduksi X), bila keputusan nomor (2) diambil, maka opportunity cost adalah Rp 200.000
(yakni hilangnya penghematan kos karena perusahaan membeli suku cadang dari
luar dengan membiarkan kapasitasnya menganggur). Oleh karena kos yang paling
kecil adalah keputusan nomor (2), maka alternatif nomor (2) inilah yang
sebaiknya diambil.
6.
Memproduksi Setelah Split-Off Point atau Langsung Menjual
Beberapa produk dihasilkan secara bersama-sama
dari bahan baku yang sama atau dari satu proses produksi yang sama. Bensin,
minyak tanah, dan minyak pelumas adalah produk-produk yang berasal dari proses
penyulingan petroleum. Akuntan menyebut produk-produk ini sebagai joint products atau co-products. Saat dapat dipisahkannya produk-produk itu dari proses
produksi disebut split-off point. Kos
produksi untuk produk-produk ini sebelum titik pemisahan adalah joint cost atau common costs. Oleh karena kos produksi untuk masing-masing jenis
produk itu harus diketahui, maka usaha untuk mengalokasi kos bersama (joint costs) harus dilakukan secara adil
dan teliti. Pengalokasian secara adil dan teliti merupakan masalah yang harus
dicari pemecahannya. Salah satu pemecahannya adalah mengalokasi kos bersama
dengan menggunakan nilai jual relative dari produk-produk tersebut.
Dalam kasus tertentu, setelah titik pemisahan
semua produk adalah produk akhir yang harus segera dijual kepada pelanggan.
Dalam kasus lain, setelah titik pemisah , satu atau lebih produk dapat langsung
dijual kepada pelanggan, atau dapat pula diproses lebih lanjut. Jika produk
diproses lebih lanjut sudah barang tentu dibutuhkan kos produksi tambahan.
Setelah proses lanjutan ini selesai, produk dijual dengan harga yang lebih tinggi
dibanding dengan harga seandainya produk langsung dijual setelah titik
pemisahan. Masalah yang akan dibahas sekarang adalah keputusan manajemen yang
rasional, apakah produk yang lebih baik dijual langsung setelah split-off point atau diproses lebih lanjut.
D.
PENENTUAN HARGA JUAL
1.
Teori Ekonomika
Secara garis besar, teori ekonomika dibagi
menjadi teori makroekonomika (macroeconomics
theory) dan teori mikroeknomika (microeconomics
theory). Teori mikroekonomika disebut juga teori harga (price theory) karena menjelaskan
terciptanya harga menurut teori mikroekonomika.
Harga sebuah produk adalah hasil akhir dari
interaksi dua kekuatan, yakni permintaan dan penawaran produk tersebut. Teori
permintaan mengatakan bahwa jumlah produk yang diminta oleh pembeli (pelanggan)
pada suatu periode waktu tertentu bergantung pada harga produk itu. Semakin
tinggi harga, semakin sedikitlah jumlah unit produk yang diminta. Sebaliknya,
semakin rendah harga, semakin banyaklah jumlah unit produk yang diminta. Kurva
permintaan (DD) pada gambar dibawah ini dapat menjelaskan hubungan antara harga
pasar dan jumlah unit barang yang diminta konsumen. Kurva ini bergerak dari
atas kiri ke bawah kanan yang menunjukkan bahwa jika harga turun, maka jumlah
unit yang diminta menjadi lebih banyak, dan sebaliknya jika harga naik, maka
jumlah unit yang diminta menjadi lebih sedikit. Teori penawaran mengatakan
bahwa jumlah produk yang ditawarkan oleh penjual pada suatu produk tertentu
bergantung pada harga produk yang ditawarkan penjual, sebaliknya semakin rendah
harga, semakin sedikit pula jumlah unit produk yang ditawarkan. Hukum penawaran
ini dijelaskan oleh kurva penawaran (SS) pada Gambar dibawah ini.
D S
10 - - - - - - - - - - - - - - -
0 S D
1.500 Kuantitas
(unit)
Bagaimana permintaan dan penawaran
berinteraksi untuk menentukan harga pasar? Kurva permintaan menunjukkan
pelbagai kuantitas barang yang diminta oleh para pembeli pada pelbagai tingkat
harga yang mereka mau bayar, sedangkan kurva penawaran menunjukkan pelbagai
jumlah barang yang akan diproduksi oleh produsen (penjual) pada pelbagai
tingkat harga. Akan tetapi, tidak satupun dari kurva permintaan dan kurva
penawaran itu yang mengatakan bahwa harga yang telah terjadi adalah sekian
rupiah, jumlah yang telah terjual sekian unit, atau jumlah yang dibeli adalah
sekian unit.
Harga pasar ditentukan oleh titik perpotongan
antara kurva penawaran dan kurva permintaan. Pada titik ekuilibrium inilah
jumlah yang disediakan oleh produsen sama dengan jumlah yang diminta oleh
konsumen. Titik ini ditunjukkan oleh gambar kurva diatas pada harga Rp 10 dan
kuantitas equilibrium 1.500 unit.
2. Penentuan Harga Berdasarkan Kos
Diatas telah dijelaskan bagaimana harga suatu
produk ditentukan oleh interaksi antara kurva permintaan dan kurva penawaran.
Teori ekonomika memang berhasil mengembangkan model-model penentuan harga untuk
pelbagai tipe dasar. Teori ekonomika tersebut memang logis, akan tetapi sulit
untuk diterapkan secara langsung oleh manajer untuk menetapkan harga jual dalam
praktik.
Sulitnya penerapan teori ekonomika tersebut
dikarenakan oleh hal-hal berikut. Pertama, adanya asumsi bahwa kurva permintaan
dapat diketahui. Umumnya, manajemen tidak memiliki data yang akurat, cukup, dan
dapat dipercaya untuk membuat kurva permintaan yang tepat. Kedua, teori
ekonomika menganggap bahwa perusahaan bertujuan mencari laba maksimum, padahal
banyak tujuan social, hukum dan batasan yang mempengaruhi keinginan manajemen
untuk memperoleh laba tersebut. Ketiga, banyak factor lain, disamping harga
mempengaruhi fungsi permintaan. Misalnya, interaksi antara kebijakan pemasaran
dan distribusi, kebijakan promosi dan pengiklanan, penyebaran staf penjualan,
penawaran jasa-jasa kepada pelanggan dan pelbagai tipe produk yang dijual.
Seluruh faktor ini mempunyai pengaruh besar terhadap jumlah produk yang dapat
dijual dengan harga tertentu.
Pelbagai kesulitan diatas memaksa manajemen
untuk menggunakan pendekatan coba-coba dalam menentukan harga jual. Akhirnya,
informasi kos menjadi dasar pengambilan keputusan menentukan harga jual
produk/jasa. Dalam praktik, pricing lebih merupakan seni daripada ilmu.
A. COST-PLUS
PRICING
Dalam jangka panjang, harga jual produk harus
dapat menutup seluruh kos. Jika tidak, maka perusahaan tidak mampu
mempertahankan hidupnya. Harga jual yang ditetapkan sedikit diatas kos variabel
saja, hanya dapat diterima dalam jangka pendek dan dalam kondisi tertentu.
Dalam jangka panjang, seluruh kos adalah relevan untuk menentukan harga jual
dan harus dipertimbangkan secara eksplisit agar tujuan laba jangka panjang
dapat tercapai.
Pendekatan yang lazim untuk menentukan harga
jual produk standar adalah menerapkan formula cost-plus. Menurut pendekatan ini, harga jual adalah cost ditambah dengan markup sebesar persentase tertentu dari cost tersebut. Markup harus ditentukan sedemikian rupa, sehingga laba yang
diinginkan dapat tercapai.
B. KOS PRODUKSI PENUH
Salah satu dasar yang digunakan untuk
menentukan harga jual produk adalah kos produk yang dihitung dengan pendekatan absorption costing (full costing). Menurut
pendekatan ini, kos produk terdiri atas kos bahan baku, kos tenaga kerja
langsung, dan overhead pabrik tetap dan variabel. Harga jual yang ditargetkan
adalah kos produk ditambah dengan markup.
Untuk memberikan gambaran, anggaplah bahwa
sebuah perusahaan sedang dalam proses menentukan harga jual produknya. Data kos
yang berhubungan dengan produk tersebut tersaji sebagai berikut:
Kos
|
Per Unit
|
Total
|
Bahan Baku
Tenaga Kerja Langsung
Overhead Variabel
Overhead Tetap (berdasar pada produksi
10.000 unit)
Pemasaran & Administrasi
Variabel
Pemasaran & Administrasi Tetap
(berdasarkan pada produksi 10.000 unit)
|
Rp 1.000
800
800
1.400
400
200
|
Rp 14.000.000
2.000.000
|
Menurut data diatas, kos adalah sebesar Rp
4.000 per unit, sebagaimana perhitungan berikut ini.
Bahan Baku
Tenaga Kerja Langsung
Overhead (tetap Rp 1.400 dan
Variabel Rp 800)
|
Rp 1.000
800
2.200
|
Kos produksi per unit
|
Rp 4.000
|
Misalnya markup
yang diinginkan adalah 50% dari kos produk. Dengan demikian, harga jualnya
adalah Rp 6.000, sebagaimana perhitungan berikut:
Kos Produksi Penuh per unit
(+) Markup untuk menutup kos pemasaran, kos administrasi, dan laba :
50% dari kos produksi
|
Rp 4.000
Rp 2.000
|
Target Harga Jual per unit
|
Rp 6.000
|
Meskipun pendekatan ini bernama cost-plus, namun masih ada bagian kos
yang tersembunyi (buried) dalam markup. Kos yang tersembunyi tersebut
adalah kos pemasaran. Kos tersebut dapat pula ditampakkan secara terpisah dan
ditambahkan dengan kos produksi. Jadi, markup
dapat dihitung dari seluruh kos, baik produksi maupun kos nonproduksi.
Kalau kita menggunakan seluruh kos (produksi
dan nonproduksi) sebagai dasar penentuan harga, berarti kita mendasarkan pada full cost. Namun demikian, cara seperti
itu jarang dilakukan dalam praktik. Alasannya adalah kesulitan yag dihadapi
dalam mengalokasi kos nonproduksi jika produk perusahaan banyak jenisnya.
Sebagai contoh, gaji presiden direktur adalah common cost untuk seluruh produk. Pengalokasian kos gaji tersebut
ke masing-masing produk dengan cara yang adil dan berarti adalah suatu
pekerjaan yang sulit.
Seandainya perusahaan berencana untuk
memproduksi dan menjual 10.000 unit dengan harga jual Rp 6.000 per unit, maka
laba bersih taksirannya akan tampak sebagai berikut :
Penjualan (10.000 satuan @ Rp 6.000)
HPP (10.000 satuan Rp 4.000)
|
Rp 60.000.000
40.000.000
|
Laba Bruto
|
Rp 20.000.000
|
Kos pemasaran dan administrasi
(10.000 satuan):
Varibel @ Rp 400 dan tetap total Rp
2.000.000
|
6.000.000
|
Laba Bersih
|
Rp 14.000.000
|
C. KOS PENUH
Dasar lain yang dapat digunakan untuk
menentukan harga jual adalah full cost. Full
cost adalah seluruh kos baik kos produksi maupun kos nonproduksi. Sebagaimana
dijelaskan sebelumnya, pendekatan ini sulit diterapkan apabila produk yang
dibuat oleh perusahaan terdiri atas pelbagai jenis. Untuk memudahkan pemahaman,
anggaplah hanya satu jenis produk yang dibuat dan dijual perusahaan.
Dengan menggunakan data sebelumnya, full cost per unit adalah sebagai
berikut:
Kos produksi penuh per unit
Kos pemasaran dan administrasi
variabel
Kos pemasaran dan administrasi tetap
|
Rp 4.000
400
200
|
Full cost per unit
|
Rp 4.600
|
Apabila ditetapkan markup 30,43% dari full cost, maka besarnya harga jual adalah Rp
6.000 sebagaimana perhitungan berikut :
Kos penuh per unit
(+) Markup : (30,43% x Rp 46)
|
Rp 4.600
1.400
|
Target harga jual per unit
|
Rp 6.000
|
D. KOS PRODUKSI VARIABEL
Dasar ketiga yang dapat digunakan untuk
menentukan harga jual adalah kos produk yang dihitung dengan pendekatan variabel costing. Menurut pendekatan ini,
kos produk hanya terdiri atas kos variabel yang diperlukan untuk memproduksi
barang atau jasa. Elemen kos produk hanya meliputi kos bahan baku, kos tenaga
kerja langsung, dan kos overhead pabrik variabel. Kos overhead pabrik tetap dianggap bukan kos produksi, melainkan
kos periode (period cost).
Untuk member gambaran, digunakan data kos pada
contoh sebelumnya. Kos produk variabel adalah sebesar Rp 2.600 dihitung sebagai
berikut.
Kos bahan baku
Kos tenaga kerja langsung
Kos overhead variabel
|
Rp 1.000
800
800
|
Kos produksi variabel per unit
|
Rp 2.600
|
Anggaplah bahwa markup yang ditentukan untuk menutup kos nonproduksi dan laba per
unit adalah 130,77%. Dengan demikian harga jualnya adalah Rp 6.000 sebagaimana
perhitungan berikut:
Kos Produksi Variabel per unit
(+) Markup untuk menutup kos nonproduksi dan laba : 130,77% x Rp
2.600
|
Rp 2.600
3.400
|
Target Harga Jual per unit produk
|
Rp 6.000
|
Seandainya perusahaan akan memproduksi dan
menjual 10.000 unit dengan harga Rp 6.000 per unit, maka laba taksirannya akan
tampak sebagai berikut:
Penjualan (10.000 unit @ Rp 6.000)
Dikurangi :
HPP variabel (10.000 unit @ Rp
2.600)
Biaya pemasaran dan adminsitrasi
variabel (10.000 x Rp 400)
|
Rp 60.000.000
Rp 26.000.000
4.000.000
|
Margin Kontribusi
|
Rp 30.000.000
|
Dikurangi Biaya Tetap :
Biaya Produksi
Biaya Administrasi dan Pemasaran
|
Rp 14.000.000
2.000.000
|
Laba Bersih
|
Rp 14.000.000
|
E.
KOS VARIABEL
Dasar keempat untuk menentukan harga jual
adalah variabel cost. Yaitu seluruh
kos variabel baik kos produksi variabel maupun kos non produksi variabel. Kos
variabel per unit adalah :
Kos Produksi variabel per unit
Kos pemasaran dan administrasi
variabel per unit
|
Rp 2.600
400
|
Kos variabel per unit
|
Rp 3.000
|
Apabila markup
ditetapkan 100% maka target harga jual per unit adalah Rp 3.000 + Rp 3.000
= Rp 6.000 seperti perhitungan berikut.
Kos produksi variabel per unit
(+) Markup untuk menutup laba: 100% x Rp 3.000
|
Rp. 3.000
3.000
|
Target harga jual per unit produk
|
Rp 6.000
|
Dari penjelasan diatas, maka dapatlah dipahami
bahwa penentuan harga jual produk dengan mendasarkan pada kos tidak dapat
dipandang sebagai formula yang kaku dan deterministic (pasti). Pelbagai formula
yang ada hanyalah cara menentukan target harga jual sebagai pendekatan
coba-coba. Pada akhirnya, konsumenlah yang dapat menentukan harga, sehingga
perusahaan harus selalu menyesuaikan harga jualnya atau mengubah lini
produknya. Selalu menyesuaikan harga jual dilakukan apabila pasar yang dihadapi
perusahaan adalah persaingan sempurna karena posisi perusahaan hanyalah price taker.
F.
MENENTUKAN
PERSENTASE MARKUP
Untuk apa markup
itu? Markup dibentuk untuk
menutup: 1. kos selain kos yang menjadi dasar perhitungan, dan 2. laba yang diinginkan.
Jika salah menentukan presentase markup, maka
kos tersebut dan laba yang diinginkan tidak dapat ditutup oleh harga jual.
Return on
investment (ROI) adalah
salah satu cara untuk menentukan besarnya markup.
Berikut ini empat buah formula untuk menentukan besarnya presentase markup. Masing-masing formula akan
diberikan contoh perhitungannya, baik untuk besarnya markup itu sendiri maupun untuk besarnya harga jual setelah
diketahui markup. Semua formula akan
menggunakan data dibawah ini.
Rerata asset operasi setiap tahun Rp
50.000.000. Produksi dan penjualan setahun 10.000 unit. Return On Investment (ROI) atau Return
On Assets Employed yang diinginkan adalah 28%. Data kos taksiran setahun
mendatang adalah sebagai berikut.
|
Total
|
Per Unit
|
Kos Bahan Baku
Kos Tenaga Kerja Langsung
Kos Overhead Variabel
Kos Overhead Tetap
Kos Pemasaran dan Administrasi
Variabel
Kos Pemasaran dan Administrasi Tetap
|
Rp 10.000.000
8.000.000
8.000.000
14.000.000
4.000.000
2.000.000
|
Rp 1.000
800
800
1.400
400
200
|
Jumlah
|
Rp 46.000.000
|
Rp. 4.600
|
G.
FORMULA FULL COSTING
Formula ini dipergunakan jika dasar
perhitungan untuk menentukan markup adalah
kos produksi penuh.
% markup
= (Target ROI) + (Kos Pemasaran
dan Administrasi Total)
(Volume dalam unit) x (Kos Produk Penuh per
unit)
= (28%
x Rp 50.000.000) + (Rp 6.000.000)
(10.000 x Rp 4.000)
= Rp
20.000.000
Rp
40.000.000
= 50%
Dengan menggunakan data taksiran diatas, maka
harga jual per unit produk yang ditargetkan adalah :
Kos produksi penuh per unit
(+) Markup: 50% x Rp 4.000
|
Rp 4.000
2.000
|
Target harga jual per unit
|
Rp 6.000
|
Jika perusahaan dapat menjual seluruh
produksinya (10.000 unit) dengan harga jual per unit Rp 6.000, maka taksiran
labanya tahun depan tampak sperti berikut ini :
Penjualan (10.000 x Rp 6.000)
(-) HPP (10.000 x Rp 4.000)
|
Rp 60.000.000
40.000.000
|
Laba Bruto
(-) Biaya Pemasaran dan Administrasi
|
20.000.000
6.000.000
|
Laba
|
Rp 14.000.000
|
Berdasarkan perhitungan diatas, ROI dapat
dibuktikan sebesar 28% dan markup sebesar
50%, sebagai berikut.
ROI =
Laba x Penjualan
Penjualan Rerata Aset Operasi
= Rp 14.000.000 x Rp
60.000.000
Rp
60.000.000 Rp
50.000.000
= 0,233 x 1,2
= 28%
% markup = Target
ROI + Kos Pemasaran dan Administrasi
Volume
dalam unit x Kos Produk per unit
= (28% x Rp 50.000.000) + (Rp.
6.000.000)
10.000 x Rp 4.000
= Rp
20.000.000
Rp
40.000.000
= 50%
Dari angka ini terbukti bahwa markup sebesar 50% atau Rp 20.000.000
yang akan digunakan untuk menutup kos pemasaran dan administrasi Rp 6.000.000
dan laba bersih yang dikehendaki sebesar Rp 14.000.000, yakni ROI sebesar 28%
dari rerata investasi Rp 50 juta.
H. FORMULA FULL
COST
Formula ini dipergunakan jika dasar
perhitungan untuk menentukan markup adalah
kos penuh, yaitu penjumlahan antara kos produksi dan non produksi.
% markup = Target
ROI
Volume
dalam unit x Total kos penuh per unit
= 28%
x Rp 50.000.000
10.000 x Rp 4.600
= Rp
14.000.000
Rp
46.000.000
= 30,43%
Adapun harga jual per unitnya adalah Rp 4.600
+ (30,43% x Rp 4.600) = Rp 6.000
I.
FORMULA VARIABLE COSTING
Formula ini dipergunakan jika dasar
perhitungan untuk menentukan markup adalah
kos produksi variabel.
% markup = Target
ROI + Kos Tetap Non produksi variabel
Volume
dalam unit x Kos produksi variabel per unit
= (28% x Rp 50.000.000) + Rp 16.000.000
+ Rp 4.000.000
10.000
x Rp 2.600
= Rp 34.000.000
Rp 26.000.000
= 130,77%
Harga jual per unit dengan data diatas adalah
Rp 2.600 + (130,77% x Rp 2.600) = Rp 6.000.
J.
FORMULA VARIABLE COST
Formula ini dipergunakan jika dasar
perhitungan untuk menentukan markup adalah
kos produksi dan nonproduksi variabel.
% Markup = Target ROI + Kos Tetap
Volume dalam unit x Kos Penuh variabel per
unit
= (28% x Rp 50.000.000) + Rp 16.000.000
10.000 x Rp 3.000
= Rp 30.000.000
Rp 30.000.000
= 100%
Dari data diatas, maka harga jual produk per
unit adalah Rp 30.000 + (100% x Rp 3.000) = Rp 6.000.
Dengan menggunakan data yang sama, harga jual
per unit adalah Rp 6.000 walaupun formula yang digunakan dan besarnya markup berbeda-beda. Markup berbeda-beda karena dasar yang
digunakan untuk menentukan markup berbeda-beda.
Harga jualnya sama karena ROI yang
diinginkan adalah sama, yaitu 28%. Perhatikan table berikut.
|
Formula
Full Costing
|
Formula
Full Cost
|
Formula
Variabel
Costing
|
Formula
Variabel
Cost
|
Dasar yang
digunakan :
1.
Seluruh
kos produksi
Markup 50%
|
4.000
2.000
|
-
|
|
|
2.
Seluruh
kos Markup 30,43%
|
|
4.600
1.400
|
-
|
|
3.
Kos
Produksi Variabel
Markup 130,77%
|
|
|
2.600
3.400
|
-
|
4.
Kos
Variabel Markup 100%
|
|
|
|
3.000
3.000
|
Harga Jual
|
6.000
|
6.000
|
6.000
|
6.000
|
K.
PENENTUAN HARGA
WAKTU DAN BAHAN
Pendekatan penentuan harga waktu dan bahan (time and material pricing) menggunakan
dua buah tarif penentuan harga jual. Tarif pertama mendasarkan pada waktu tenaga kerja langsung, dan yang
kedua mendasarkan pada bahan. Tarif
tersebut dibentuk untuk menutup kos administrasi dan pemasaran, kos tak
langsung lainnya, dan laba yang diinginkan. Penentuan harga jual dengan metode
ini lazim dilakukan oleh bengkel reparasi jam, bengkel reparasi mobil dan
motor, perusahaan percetakan, dan perusahaan-perusahaan lain yang bergerak
dibidang jasa. Metode ini juga digunakan oleh pelbagai persekutuan para ahli,
seperti akuntan, pengacara, dokter, dan konsultan.
Komponen
waktu dinyatakan secara khusus sebagai tarif per jam
tenaga kerja langsung. Tarif ini dihitung dari penjumlahan tiga elemen berikut:
(i) kos tenaga kerja langsung, termasuk gaji dan tunjangan tambahan; (ii) kos
penjualan dan administrasi; dan (iii) kos penjualan dan administrasi; dan (iii)
laba yang diinginkan.
Adapun komponen
bahan meliputi harga beli bahan yang digunakan selama pengerjaan ditambah material loading charge (MLC). MLC
dimaksudkan untuk menutup kos pemasaran, handling
dan penyimpanan bahan, plus margin laba untuk bahan itu sendiri.
Contoh berikut merupakan penjelasan metode
ini. Sebuah bengkel sepeda motor membayar gaji tenaga kerja langsung sebesar Rp
10.000 per jam plus tunjangan tambahan Rp 4.000 per jam. Kos lainnya sebulan
sebagai berikut.
Gaji mandor, termasuk tunjangan tambahan
Bahan habis pakai
Penyusutan
Kos administrasi & pemasaran
|
Rp 4.250.000
1.600.000
7.300.000
9.350.000
|
Jumlah
|
Rp 22.500.000
|
Tenaga kerja langsung dalam sebulan bekerja
selama 2.500 jam. Jika dikehendaki laba perjam sebesar Rp 7.000, maka harga
kepada pemesan (pelanggan) perjam adalah sebagai berikut.
Gaji tenaga kerja langsung (termasuk
tunjangan per jam)
Kos lain per jam: Rp 22.500.000 : 2.500
Laba yang diinginkan per jam
|
Rp 14.000
9.000
7.000
|
Total beban per
jam kepada pelanggan
|
Rp 30.000
|
Kos pemesanan dan penyimpanan diperkirakan 25%
dari harga faktur pembelian bahan. Laba yang diinginkan atas bahan ini adalah
15%. Seandainya dari data diatas, ada seorang pelanggan yang mendapat jasa
reparasi selama 2,5 jam dan membutuhkan komponen motor (bahan) yang harga
belinya sebesar Rp 100.000, maka ia akan dikenakan harga sebagai berikut.
Jam kerja 2,5 jam @ Rp 30.000
|
|
Rp 75.000
|
Bahan yang digunakan (harga beli)
(+) Kos pemesanan, handling dan
Penyimpanan: 25% x Rp 100.000
(+) Laba 15% x Rp 100.000
|
Rp 100.000
25.000
15.000
|
Rp 140.000
|
Harga jual yang
dibebankan kepada pelanggan
|
|
Rp 215.000
|
Semua
rangkuman dan paparan diatas dikutip dari buku Akuntansi Management sebuah
pengantar karya Prof. Selamet Sugiri, bagi temen-temen mahasiswa yang ingin
mengetahui lebih mendetail saya rekomendasikan untuk membaca buku tersebut,
karena paparan-paparan diatas hanyalah sebagian materi saja dari beberapa
materi yang ada.