Sabtu, 08 Juli 2017

Materi Ujian Komprehensif Akuntansi Manajemen



Materi Ujian Komprehensif Akuntansi Manajemen

A.    RUANG LINGKUP AKUNTANSI MANAJEMEN
1.      Organisasi dan Akuntansi
Organisasi adalah sekelompok orang yang bekerjasama untuk mencapai tujuan bersama. Organisasi dapat digolongkan menjadi organisasi berorientasi laba dan berorientasi non laba. Organisasi dengan tujuan apapun selalu menggunakan sumber daya (resources), sepeti barang, uang, peralatan dan teknologi, dan keahlian manusia. Jumlah sumberdaya, menurut ilmu ekonomi, sangat terbatas, sedangkan kebutuhan terhadapnya sangat tidak terbatas. Oleh karena itu, sumber daya harus digunakan se-efektif dan se-efisien mungkin. Agar dapat bekerja secara efektif dan efisien, organisasi membutuhkan informasi tentang
a.      Sumberdaya yang dimilikinya,
b.      Hasil yang telah dicapai dengan penggunaan sumberdaya tersebut.
Pihak-pihak di luar organisasi yang berkepentingan, baik langsung maupun tak langsung dengan keuangan organisasi juga membutuhkan informasi mengenai organisasi tersebut. Kebutuhan akan informasi dapat dipenuhi antara lain oleh sistem informasi akuntansi. Salah satu sistem informasi akuntansi adalah akuntansi manajemen yang dapat menyediakan jasa informasi akuntansi yang berguna untuk pengambilan keputusan para manager.

2.      Jenjang Manajemen dan Jenis Wewenang
Struktur organisasi juga memperlihatkan jenjang atau aras (level) manajemen dan jenis wewenang. Ditinjau dari jenjangnya, direktur adalah manajemen teras (top management), kepala bagian adalah manajemen menengah (middle management), kepala seksi adalah manajemen bawah (lower management).
Wewenang manajemen dibedakan menjadi wewenang garis dan wewenang staf. Wewenang garis merupakan wewenang untuk melaksanakan secara langsung tujuan dasar organisasi. Kepala bagian penjualan menduduki garis karena posisinya berhubungan langsung dengan pelaksanaan tujuan dasar organisasi, yaitu menjual barang dagangan. Kepala bagian akuntansi adalah hanya menduduki posisi staf karena posisinya berhubungan tak langsung dengan pelaksanaan tujuan dasar. Fungsinya hanya bersifat mendukung, yakni menyediakan jasa dan bantuan kepada bagian-bagian lain. Analog dengan itu, maka kepala bagian pembelian juga menduduki posisi staf.


3.      Fungsi-fungsi Manajemen
Sebuah organisasi akan dapat berjalan efektif dan efisien apabila dikelola dengan sebaik-baiknya. Pengelola organisasi adalah para manajer, direktur, dewan direksi, ketua, pimpinan, komandan dan lain sebagainya. Para pengelola organisasi dipandang sebagai suatu kelompok utuh disebut manajemen. Manajemen tidaklah melakukan strategi-strategi yang telah mereka tetapkan untuk mencapai tujuan organisasi, melainkan melalui orang lain. Orang-orang lain itulah yang digerakkan dan dikerahkan untuk mencapai tujuan organisasi.
Seperti telah dikemukakan, manajemen itu berjenjang. Terlepas dari jenjangnya, seluruh manajer melakukan fungsi-fungsi perencanan (planning), pengorganisasian (organizing), pengarahan (directing), dan pengendalian (controlling).

4.      Fungsi Akuntansi
Ditinjau dari disiplin ilmu, akuntansi keuangan dan akuntansi manajemen adalah cabang-cabang dari disiplin ilmu akuntansi. Induk kedua tipe akuntansi itu adalah akuntansi. Oleh karena induknya sama, maka meskipuns sasaran informasinya berbeda, kedua-duanya melibatkan tiga fungsi berikut.
a.      Pencatatan (record keeping) yang berkaitan dengan proses memilih, mengukur, dan mengumpulkan data transaksi-transaksi keuangan organisasi baik mencari laba maupun tidak.
b.      Evaluasi kinerja (performance evaluation) yang mengarahkan perhatian pihak-pihak yang berkepentingan terhadap kinerja organisasi berdasarkan laporan-laporan yang mengklasifikasi dan meringkas hasil usaha perusahaan baik secara keseluruhan maupun hanya satu segmen (bagian) dari organisasi pada periode trertentu.
c.       Pengambilan keputusan (decision-making) oleh pelbagai pihak yang harus memilih antara tindakan-tindakan alternative yang berhubungan dengan masa depan perusahaan.

5.      Kesamaan antara Akuntansi Manajemen dan Akuntansi Keuangan
Akuntansi Keuangan  dan akuntansi manajemen sama dalam dua hal. Yang pertama, kedua-duanya dibangun dalam satu kaidah yang sama yaitu kaidah pertanggung-jawaban (stewardship). Perusahaan yang diwakili oleh manajemen harus mempertanggungjawabkan keuangan dan operasinya kepada seluruh pihak yang berkepentingan. Akuntansi keuangan berkepentingan terutama dengan operasi perusahaan secara keseluruhan, sedangkan akuntansi manajemen berkepentingan dengan satuan-satuan pertanggungjawaban untuk menyediakan pelaporan pertanggungjawaban keuangan perusahaan yang lebih rinci.
            Kedua, akuntansi keuangan dan akuntansi manajemen dibangun dalam satu sistem akuntansi umum, tidak dalam dua sistem terpisah. Menyelenggarakan dua sistem terpisah dilarang oleh lembaga yang berwenang (misalnya otoritas pajak). Seandainya tidak dilarang pun, cost menyelenggarakan dua sistem terpisah itu mahal karena memerlukan duplikasi waktu dan buku-buku akuntansi.

6.      Akuntansi Manajemen versus Akuntansi Keuangan
Perbedaan antara akuntansi manajemen dan akuntansi keuangan dapat dijelaskan secara singkat sebagai berikut :
a.      Focus Informasi pada akuntansi manajemen adalah kepada manajemen untuk keputusan internal, sedangkan pada akuntansi keuangan adalah pihak eksternal.
b.      Jenis Klasifikasi dan pengukuran serta cara pelaporan informasi akuntansi manajemen ditentukan sendiri oleh manajemen sebagai pihak pengguna. Hal-hal tersebut untuk akuntansi keuangan, sebaliknya ditentukan oleh prnsip-prinsip akuntansi berlaku umum (generally accounting principles). Manajemen tidak bebas untuk memilih informasi untuk pihak luar. Jadi, unsur kebebasan dalam memilih informasi, misalnya, merupakan pembeda antara akuntansi manajemen dan akuntansi keuangan.
c.       Fokus Waktu pada akuntansi manajemen adalah masa mendatang, sedangkan focus waktu pada akuntansi keuangan masa lalu. Dalam penerapannya, akuntansi manajemen juga menggunakan data masa lalu. Namun, data tersebut digunakan sebagai dasar untuk membuat prediksi tentang apa yang akan terjadi di masa mendatang.
d.      Kesatuan Akuntansi (accounting entity) pada akuntansi manajemen adalah segmen yang dapat berupa bagian, departemen, produk, lini produk, divisi dan lain sebagainya. Oleh karena itu, laporan untuk kepentingan penilaian dan pertanggungjawaban dibuat berdasarkan kesatuan akuntansi tersebut. Sebaliknya, kesatuan akuntansi pada akuntansi keuangan dihubungkan dengan pelaporan eksternal, sehingga perusahaan secara keseluruhan itulah dipandang sebagai kesatuan akuntansi.
e.      Frekuensi Pelaporan akuntansi manajemen bergantung pada kebutuhan manajemen berdasar mingguan, bulanan, semesteran atau interval waktu lain. Pada akuntansi keuangan, frekuensi pelaporan biasanya berdasarkan interval waktu satu tahun.
f.        Objektivitas dan Keberdayaujian tidak menjadi pertimbangan utama pada akuntansi manajemen sebab informasinya lebih terfokus ke masa depan, sedangkan pada akuntansi keuangan dua hal tersebut merupakan pertimbangan utama untuk meyakinkan bahwa informasi tidak bias terhadap kepentingan manajemen.
g.      Integrasi dengan disiplin ilmu pada akuntansi manajemen lebih banyak, misalnya dengan makroekonomika, manajemen keuangan, matematika, statistika, psikologi, dan lain sebagainya. Meskipun juga berinteraksi dengan disiplin ilmu lain, akuntansi keuangan tidak berintegrasi terlalu banyak dengan pelbagai disiplin diatas.

7.      Karakteristik Informasi yang Berguna
Kualitas informasi sangat menentukan kualitas keputusan yang diambil oleh manajemen. Agar keputusan manajemen berkualitas, informasi akuntansi manajemen harus memiliki karakteristik keterpautan (relevance), ketepatan (accuracy), ketepatwaktuan (timeliness), keterpahaman (understandability), dan efektifitas-biaya (cost-effectiveness).
Keterpautan
Informasi haruslah mempunyai sifat keberpautan dengan keputusan yang akan dibuat. Dua keputusan yang berbeda membutuhkan informasi yang berbeda pula. Oleh karena itu, informasi yang disampaikan harus selaras dengan keputusan yang sedang dipertimbangkan. Informasi dianggap relevan oleh akuntansi manajemen apabila berkaitan dengan hal-hal yang akan terjadi dan berbeda diantara pelbagai alternatif. Dalam akuntansi manajemen dikenal istilah different costs for different purposes. Tidak satupun jenis informasi yang relevan untuk segala macam keputusan.

Ketepatan
Keputusan selalu menyangkut masa depan, bukan masa lalu. Oleh karena itu, informasi yang dibutuhkan haruslah informasi tentang hal-hal yang akan datang sesuai keputusan yang akan dibuat. Masa mendatang penuh dengan ketidakpastian. Tentu saja, informasi mengenai apa yang akan terjadi hanyalah merupakan prediksi dan taksiran. Meskipun demikian, informasi haruslah mempunyai sifat ketepatan (keakuratan) agar informasi itu ada nilai gunanya. Jika informasi tunggal dianggap kurang akurat, maka perlu dibuat kisaran informasi dengan pelbagai tingkat probabilitas. Misalnya, informasi tentang penjualan yang mungkin akan dicapai tahun depan disajikan dalam kisaran antara 4 sampai 5 juta rupiah dengan pelbagai probabilitas.

Kondisi                    Penjualan             Probabilitas                  Penjualan
Ekonomi                                                                                         Taksiran
    (1)                             (2)                           (3)                                   (4)
Buruk                        4.000.000                   20%                        800.000
Sedang                      4.500.000                   40%                      1.800.000
Baik                           5.000.000                    20%                    1.000.000
Penjualan Taksiran (Rata-rata)   ………………….                        3.600.000

        Informasi seperti diatas mungkin lebih baik ketimbang, misalnya penjualan tahun depan diperkirakan Rp 3.600.000 yang seakan-akan probabilitasnya adalah 100 persen. Penggunaan informasi penjualan dengan pelbagai probabilitas memungkinkan akuntan untuk memperkirakan resiko tidak tercapainya penjualan taksiran. Ukuran resiko secara statistis adalah deviasi standar. Silahkan berkonsultasi dengan buku-buku statistika untuk menghitung deviasi standar.

Ketepatwaktuan
           Informasi harus mempunyai sifat ketepatwaktuan. Artinya, informasi harus disajikan sebelum ia kehilangan kapasitasnya untuk mempengaruhi keputusan. Ketepatwaktuan itu penting mengingat perusahaan bekerja dalam kondisi yang selalu berubah dari waktu ke waktu apabila disajikan sedini mungkin pada saat keputusan akan diambil. Jika tidak, maka informasi tidak ada gunanya lagi. Ketepatwaktuan menjadi karakteristik yang semakin dapat dicapai setelah banyak perusahaan menggunakan teknologi komputer.

Keterpahaman
            Meskipun manajemen pada umumnya ahli dibidang bisnis, namun tidak tertutup kemungkinan mereka tidak tahu persis istilah-istilah akuntansi. Oleh karena itu, informasi akuntansi manajemen harus bersifat dapat dipahami. Cara penyajiannya hartus sedemikian rupa sehingga manajemen memahami maksud dan makna istilah-istilah yang dipakai.

Efektifitas Biaya
           Manfaat informasi akuntansi manajemen harus melebihi kos untuk memperolehnya. Informasi tidak berguna jika dihasilkan dengan pengorbanan yang melebihi manfaatnya. Oleh karena itu, akuntansi manajemen harus dirancang sedemikian rupa agar kos untuk memperoleh informasi yang relevan tidak melebihi manfaatnya.

B.    KONSEP-KONSEP KOS

1.      Konsep Kos
         Kos tidak boleh disamakan dengan biaya (expense) ataupun asset. Dalam akuntansi keuangan. Definisi kos yang paling mudah dipahami adalah bahwa kos merupakan harga yang disepakati oleh pihak-pihak yang bertransaksi ketika transaksi terjadi. Sesaat setelah transaksi terjadi kos tersebut menjadi kos historis. 

       Anggaplah sebagai penjelas, bahwa sediaan (inventory) pada saat ini dibeli tunai dengan harga Rp 100.000. Jumlah seratus ribu rupiah inilah yang menjadi kos pada transaksi pembelian dan menjadi kos historis setelah transaksi berlalu. Sepanjang sediaan belum terjual, maka sediaan adalah asset perusahaan. Menurut akuntansi berbasis kos historis, sediaan tersebut diukur sebesar kos historis, yakni Rp 100.000. Jika sediaan tersebut telah terjual, maka akuntansi akan melaporkannya sebagai biaya di laporan laba-rugi. Biaya tersebut, menurut akuntansi berbasis historis, diukur sebagai kos historis, yakni Rp 100.000. Perhatikan  penjelasan tadi. Asset (berupa sediaan) di neraca dan biaya historis. Jadi, kos adalah pengukur elemen laporan keuangan. Ia tidak sama dengan biaya ataupun asset.

          Masih tentang kos, anggaplah bahwa sediaan diatas yang kos historisnya Rp 100.000 dijual secara kredit dengan harga (jual) sebesar Rp 150.000. Jumlah seratus lima puluh ribu rupiah ini adalah harga yang disepakati oleh pihak pembeli dan pihak penjual ketika transaksi terjadi dan, oleh karena itu merupakan kos pada transaksi penjualan.

2.      Klasifikasi Kos Berdasar Fungsi Perusahaan
       Untuk menjalankan usaha dengan baik, perusahaan membagi-bagi kegiatan berdasarkan fungsi-fungsi pokok. Pada perusahaan pemanufakturan, misalnya, kegiatan dibagi dalam fungsi produksi dan fungsi nonproduksi. Fungsi produksi bertugas dan bertanggungjawab untuk memproduksi barang dengan kualitas tertentu. Fungsi non produksi, yang juga disebut fungsi komersial, terdiri atas fungsi administrasi dan fungsi pemasaran.

      Kos Produksi adalah kos yang diperlukan untuk memperoleh bahan baku (mentah) dari pemasok dan mengubahnya menjadi produk selesai yang siap dijual. Elemen kos produksi terdiri atas kos bahan baku, kos tenaga kerja langsung, dan kos overhead pabrik.

Elemen-elemen Kos Produksi
Kos produksi pada perusahaan pemanufakturan terdiri atas elemen-elemen kos bahan baku, kos tenaga kerja langsung, dan kos overhead pabrik.

Bahan Baku adalah bahan yang digunakan untuk membuat produk selesai. Bahan baku dapat diidentifikasi ke produk dan merupakan bagian integral dari produk tersebut.

Tenaga Kerja Langsung adalah tenaga kerja yang langsung menangani proses produksi.

Overhead Pabrik adalah kos-kos selain bahan baku tenaga kerja langsung yang diperlukan untuk memproduksi barang disebut kos overhead pabrik (factory overhead atau factory burden). Andaikan perusahaan hanya memproduksi satu jenis produk, maka overhead pabrik termasuk kos langsung produk sebab kos tersebut dapat diidentifikasi ke kos yang diproduksi tadi. Namun, andaikan perusahaan memproduksi lebih dari satu jenis produk, maka overhead pabrik terhadap produk adalah hubungan tak langsung. Disebut sebagai kos tak langsung sebab kos yang diserap oleh satu jenis produk diantara produk-produk lainnya tidak dapat diidentifikasi secara langsung ke produk. Upah mandor pada pabrik yang membuat dua jenis produk misalnya tidak dapat diidentifikasi secara langsung berapa porsi dari upah tersebut yang diserapa oleh produk A dan berapa dari produk B. Upaya untuk menentukan porsi tersebut dilakukan dengan cara mengalokasikan dengan memilih salah satu dari pelbagai metode yang tersedia. Termasuk klasifikasi overhead pabrik adalah bahan tak langsung, upah tak langsung, penyusutan mesin dan peralatan pabrik, penyusutan gedung pabrik, bahan habis pakai untuk pabrik, pajak bumi dan bangunan untuk gedung pabrik, kos pemeliharaan mesin-mesin dan peralatan pabrik, dan kos listrik untuk penerangan dan pembangkit tenaga pabrik.
Beberapa jenis upah yang dibayar untuk tenaga kerja langsung terkadang diklasifikasi ke dalam overhead pabrik. Misalnya, insentif upah lembur dan upah selama waktu menganggur karena kerusakan mesin, kekurangan bahan dan gangguan pabrik. Contoh insentif upah lembur adalah sebagai berikut.
Seorang pekerja (tenaga kerja langsung) biasanya bekerja 7 jam dalam sehari dengan tarif upah Rp. 1.000 per jam. Pada suatu hari, atas perintah mandor ia bekerja 9 jam dengan upah diluar jam kerja normal sebesar Rp. 1.300 perjam. Dengan kata lain, insentif lembur perjam adalah Rp. 300 rupiah perjam. Oleh karena kerja lemburnya adalah 2 jam, maka insentif adalah 600 rupiah. Jumlah inilah yang dimasukkan sebagai kos overhead.
      Kos-kos selain upah yang berhubungan dengan penggunaan tenaga kerja pabrik, seperti tunjangan pensiun, tunjangan asuransi, tunjangan hari raya dan tunjangan pajak pengahasilan karyawan disebut fringe benefit. Kos-kos tersebut yang dibayarkan kepada tenaga kerja langsung dapat diklasifikasikan sebagai elemen kos tenaga kerja langsung ataupun kos tenaga kerja tak langsung.


3.      Klasifikasi Kos Berdasarkan Periode Penandingan
       Akuntansi (keuangan) menggunakan konsep proper matching costs against revenues. Agar konsep penandingan kos terhadap pendapatan diterapkan secara wajar, maka perlu pembagian kos menjadi kos produk (produk costs) dan kos periode (period cost).

      Kos Produk adalah kos untuk memperoleh atau memproduksi barang/produk. Kos ini dipertemukan (ditandingkan) dengan pendapatan pada periode penjualan produk. Kos produk pada perusahaan pemanufakturan adalah kos baik langsung maupun tak langsung yang dikeluarkan untuk memproduksi barang/produk. Pada perusahaan dagang, kos terdiri atas kos untuk memperoleh barang dagangan, yang meliputi, antara lain harga beli dan kos pengangkutan. Kos produk baik pada perusahaan dagang maupun pada perusahaan pemanufakturan disebut juga inventoriable cost, artinya kos yang dapat dilekatkan kepada sediaan (inventory). Ingatlah dari pembahasan sebelumnya bahwa kos yang melekat pada barang jadi harus dilaporkan sebagai asset di neraca selama barang tersebut belum dijual. Apabila barang tersebut telah dijual, maka kos yang melekat padanya dilaporkan sebagai biaya (dengan nama harga pokok penjualan ataupun kos barang terjual). Perlakuan demikian sesuai dengan konsep bahwa kos ditandingkan dengan pendapatan (revenue) pada periode yang bersesuaian.

       Kos Periode adalah kos yang diidentifikasi dengan interval waktu tertentu karena tidak diperlukan untuk memperoleh barang/produk yang akan dijual. Kos periode diakui sebagai biaya atau expense pada periode terjadinya. Artinya, ia ditandingkan dengan pendapatan ketika kos itu terjadi. Kos ini tidak boleh dimasukkan sebagai elemen kos sediaan dan oleh karena itu disebut juga non-inventoriable cost. Contoh kos periode adalah gaji manajer pemasaran, gaji direktur, penyusutan gedung kantor administrasi, kos iklan, kos listrik untuk kantor administrasi dan pemasaran, rekening langganan Koran, kos telepon dan lain sebagainya.

4.      Klasifikasi Kos Berdasarkan Dapat Ditelusurinya ke Objek Kos
Objek Kos adalah objek yang menjadi sasaran kos. Objek kos dapat berupa produk, departemen, atau kegiatan. Untuk penilaian sediaan dalam perusahaan pemanufakturan, misalnya objek kosnya adalah produk selesai atau produk yang sedang diproses. Akuntansi manajemen menggunakan beberapa objek kos dengan pemilihan spesifik, bergantung pada sifat bisnis dan kehendak manajemen. Jika objek kosnya adalah produk, maka dikenal kos langsung produk dan kos tak langsung produk. Jika objek kosnya adalah departemen maka dikenal kos langsung departemen dan kos tak langsung departemen.
Kos Langsung (direct cost) adalah kos yang dapat ditelusur atau diidentifikasi ke suatu objek kos itu sendiri. Adapun kos tak langsung (indirect cost) adalah kos yang dikeluarkan untuk lebih dari satu objek kos dan tidak dapat ditelusur secara langsung ke salah satu objek kos tertentu, oleh karena itu kos tersebut bersifat umum dan disebut common cost.

5.      Klasifikasi Kos Berdasarkan Pengambilan Keputusan
Klasifikasi lain yang penting adalah pembedaan kedalam kos relevan levant cost) dan kos tak relevan (irrelevant cost), kos terhindarkan (avoidable cost) dan kos tak terhindarkan (unavoidable cost).
Kos Relevan adalah kos yang akan terjadi di masa mendatang dan berbeda diantara pelbagai alternatif keputusan. Dua kriteria “akan terjadi” dan “berbeda” harus dipenuhi agar suatu kos disebut kos relevan. Oleh karena adanya dua kriteria itu, maka kos relevan harus dipertimbangkan di dalam membuat keputusan.
Kos Tak Relevan adalah kos yang tidak memenuhi salah satu atau kedua-duanya dari kriteria kos relevan. Oleh karena itu kos tak relevan tidak perlu dipertimbangkan didalam pengambilan keputusan. Nilai buku tidak perlu asset tetap yang sekarang digunakan merupakan contoh kos tak relevan. Nilai buku adalah kos asset tetap yang belum didepresiasi. Keputusan apapun yang akan diambil oleh manajemen terhadap asset tersbut tidak akan dapat mengubah kos yang masih tersisa itu.
Kos Terhindarkan adalah kos yang dapat dihindarkan jika salah satu alternatif keputusan diambil. Misalnya, perusahaan mempunyai tiga bagian penjualan lini produk A,B, dan C. Jika bagian lini produk A akan ditutup maka gaji pegawai pada bagian itu dapat dihindarkan, dalam arti tidak akan lagi dikeluarkan gaji tersebut. Akan tetapi kos penyusutan ruangan yang ditempati bagian itu tidak akan dapat dihindarkan.

6.      Klasifikasi Kos Berdasarkan Dampak Keputusan Terhadap Kas Keluar
Klasifikasi kos yang lebih spesifik lagi adalah sunk cost dan out-of-pocket cost. Sunk cost adalah kos yang telah dikeluarkan dan yang tidak dapat diubah oleh keputusan sekarang atau masa yang akan datang. Oleh karena tidak dapat diubah oleh keputusan sekarang atau masa yang akan datang, kos tersebut tidak dapat menganalisa alternative tindakan yang akan datang. Dengan kata lain kos ini tidak akan pernah relevan dengan pengambilan keputusan sekarang.
             Untuk memberi gambaran, anggaplah bahwa perusahaan baru saja, mengeluarkan kas Rp 5.000.000 untuk membeli mesin giling gabah. Pengeluaran untuk investasi ini telah dilakukan sebagai akibat keputusan masa lalu. Oleh karena itu, kos yang melekat pada mesin giling gabah tersebut adalah sunk cost. Mungkin saja, di masa mendatang investasi ini dianggap tidak menguntungkan, keputusan apapun yang akan diambil sehubungan sengan mesin giling gabang diatas tidak akan pernah mengubah jumlah Rp 5.000.000 tersebut.
           Kos Tunai (out-of-pocket cost) adalah kos yang membutuhkan pengeluaran kas dimasa mendatang akibat keputusan sekarang atau keputusan yang akan datang. Sebagai contoh, perusahaan sekarang mengambil keputusan untuk melakukan ekspansi usaha. Keputusan ini mengakibatkan munculnya kos tertentu seperti upah karyawan yang akan dipekerjakan dan bahan habis pakai yang akan digunakan. Kos ini sudah barang tentu memerlukan pengeluaran kas, itulah kos tunai.

7.      Klasifikasi Lain : Kos Kesempatan
   Kos Kesempatan (opportunity cost) adalah manfaat potensial yang hilang atau dikorbankan karena dipilihnya satu alternative keputusan tertentu. Manfaat potensial ini dapat berupa pendapatan (revenue), laba bersih (net income), ataupun penghematan kos (cost saving). Sebagai contoh, sebuah perusahaan pengangkutan sedang menghadapi dua pilihan. Pilihan pertama adalah mengoperasikan bisnya untuk pengangkutan umum dengan laba bersih taksiran sebulan Rp 3.000.000. Pilihan kedua adalah menyewakan bisnya kepada perusahaan lain dengan pendapatan sewa taksiran sebulan Rp 3.500.000 tanpa harus mengeluarkan kos. Apabila perusahaan memutuskan untuk mengambil pilihan pertama, maka kos kesempatannya adalah Rp 3.500.000. Seandainya perusahaan memutuskan untuk mengambil pilihan kedua maka kos kesempatannya adalah Rp 3.000.000. Manakah keputusan yang harus dipilih? Keputusan yang paling tepat adalah memilih alternatif yang kos kesempatannya paling rendah, yakni menyewakan bisnya kepada perusahaan lain.
      Kos Kesempatan tidak dicatat di akun buku besar. Kos kesempatan hanya ada dalam pengertian ekonomik. Dalam menentukan besarnya kos, jumlah kos kesempatan harus diperhitungkan pada alternatif yang dipilih untuk menentukan true cost.


C.     PENGAMBILAN KEPUTUSAN JANGKA PENDEK

1.      Pengambilan Keputusan
Pengambilan keputusan (decision making) adalah memilih salah satu diantara pelbagai alternatif tindakan yang ada. Pemilihan ini biasanya menggunakan dasar ukuran tertentu, apakah profitabilitas atau penghematan kos. Keputusan-keputusan sebagaimana telah disebutkan contohnya diatas memerlukan informasi. Semakin tinggi kualitas informasi, semakin tinggi kualitas keputusan yang diambil. Informasi akuntansi manajemen menyediakan informasi kuantitatif, meskipun informasi yang dibutuhkan oleh manajemen meliputi juga informasi kualitatif seperti kesan masyarakat, instuisi manajemen, tanggung-jawab social, reaksi pelanggan, sikap karyawan dan sebagainya. Meskipun hanya memberikan informasi kuantitatif, bukan berarti akuntansi manajemen tidak berguna. Setidak-tidaknya sebagian dari kebutuhan manajemen sudah dapat dipenuhi olehnya. Bahwa manajemen menggunakan informasi kuantitatif dalam mengambil keputusan adalah sesuatu yang tidak dapat disangkal.
Para manajer berusaha menyusun situasi pengambilan keputusan dalam bentuk kuantitatif sebanyak mungkin, sehingga pilihan diantara pelbagai alternatif dapat dibuat dengan dasar yang sistematik. Jadi, dengan informasi kuantitatif, para pengambil keputusan : (1) dapat mengikuti proses logis di dalam memilih pelbagai alternatif, (2) dapat mempertanggungjawabkan setiap langkah yang diambil, dan (3) dapat mengevaluasi hasil-hasil yang dicapai.
Proses pengambilan keputusan meliputi empat tahap berikut.
1.      Menentukan masalah dengan penekanan pada tujuan yang hendak dicapai.
2.      Mengidentifikasi pelbagai alternatif tindakan.
3.      Mendapatkan informasi relevan dan menyngkirkan informasi yang tidak relevan, dan
4.      Membuat keputusan.

2.      Analisis Diferensial
Analisis Diferensial (differential analysis) adalah sebuah model keputusan yang dapat digunakan untuk mengevaluasi perbedaan-perbedaan dalam pendapatan dan kos yang berkaitan dengan pelbagai alternatif tindakan. Kos-kos yang dipertimbangkan didalam analisis diferensial bukannya kos-kos yang digunakan didalam pelaporan keuangan konvensional. Untuk tujuan pengambilan keputusan, klasifikasi kos meliputi : relevan cost, differential cost, unavoidable cost, sunk cost, dan opportunity cost.
Kos Relevan (relevant cost) adalah kos yang akan terjadi di masa yang akan datang dan berbeda diantara pelbagai alternative yang sedang dipertimbangkan didalam suatu keputusan. Dua kriteria : (1) akan terjadi, dan (2) berbeda, merupakan suatu kesatuan yang harus terpenuhi agar kos dapat dinamakan kos relevan.
Sebagai contoh, anggaplah sebuah perusahaan sedang mempertimbangkan apakah akan membeli mesin photocopy merk A atau merk B. Baik membeli merk A ataupun merk B, perusahaan harus mempekerjakan operator dengan gaji perbulan Rp. 30.000. Oleh karena itu besarnya gaji yang dibayarkan sama, maka kos gaji dalam kasus ini bukanlah merupakan kos relevan. Apabila dalam kasus ini, gaji operator untuk mesin merk A Rp. 30.000 tetapi untuk mesin B hanya Rp. 25.000 per bulan, maka gaji operator adalah kos relevan. Selisih gaji operator sebesar Rp. 5.000 disebut kos diferensial (differential cost). Kos diferensial adalah perbedaan kos relevan antara dua alternatif atau lebih.
      Semua kos selain kos tak terhindarkan (unavoidable cost) adalah relevan untuk pengambilan keputusan. Kos tak terhindarkan adalah kos yang tidak akan berbeda diantara pelbagai alternatif keputusan, apakah kos itu akan terjadi dimasa mendatang atau telah dimasa lalu. Contoh kas yang telah terjadi adalah kos penyusutan dari sebuah mesin yang sedang dipertimbangkan untuk diganti dengan mesin baru. Kos masa lalu ini disebut sunk cost.
      Kos Kesempatan (opportunity cost) adalah manfaat (benefit) yang dikorbankan karena menolak satu alternatif, sementara menerima alternatif lain. Manfaat yang dikorbankan dapat berupa pendapatan atau penghematan kos (cost-saving). Contohnya sebagai berikut. Ada sebuah ruangan yang belum dimanfaatkan pada perusahaan X. Ruangan ini sebenarnya dapat disewakan selama setahun kepada mahasiswa dengan tarif Rp. 1.500.000. Jika manajer membiarkan ruangan itu menganggur, maka ada pendapatan yang hilang sebesar Rp. 1.500.000. Pendapatan yang hilang karena menolak menyewakan ruangan ini adalah opportunity cost.
      Contoh lain. Untuk memproduksi produk tertentu, perusahaan dihadapkan pada pemakaian mesin X atau mesin Y. Jika mesin X yang akan dipakai, kos tenaga kerja per jamnya Rp. 1.000, tetapi jika mesin Y yang akan dipakai, kos tenaga kerja per jamnya adalah Rp. 800. Manajer memutuskan untuk menggunakan mesin X. Dalam contoh ini, akan ada pemborosan Rp. 200 (Rp.1000 dikurangi Rp.800). Itulah penghematan kos yang hilang karena manajer menolak mesin Y dan disebut opportunity cost. Opportunity cost harus diperhitungkan sebagai kos pada alternative yang dipilih. Perhitungan demikian berguna dalam rangka menentukan true cost pada alternatif yang dipilih. Jika diterapkan pada contoh ini, maka kos pemakaian mesin X adalah Rp. 1.200 yaitu Rp. 1.000 gaji/upah yang akan dikeluarkan ditambah dengan pemborosan Rp. 200. Meskipun terkategori sebagai opportunity cost, kos ini dicatat dalam rekening buku besar.

3.      Menerima atau Menolak Pesanan Khusus
     Menerima atau menolak pesanan khusus adalah dua alternatif keputusan yang adakalanya dihadapi oleh manajemen. Pesanan khusus adalah pesanan di luar penjualan normal, biasanya dengan harga yang lebih rendah daripada harga jual normal. Keputusan tentang harga jual produk (jasa) dalam jangka pendek (masih ada kapasitas yang menganggur), penentuan harga jual dapat dilakukan dengan hanya mempertimbangkan differential cost. Oleh karena itu, pesanan khusus mungkin menarik, meskipun harganya lebih rendah daripada harga jual normal. Analisis diferensial dapat digunakan untuk mengevaluasi differential revenue and cost yang berhubungan dengan pesanan khusus ini. Harga jual yang diterima menurut analisis ini hanya berlaku untuk jangka pendek, bukan untuk kegiatan regular perusahaan jangka panjang.
     Untuk member gambaran, anggaplah bahwa sebuah perusahaan berkapasitas maksimum 10.000 unit produk. Selama ini perusahaan hanya beroperasi pada kapasitas normal 8.000 unit. Perusahaan sedang mempertimbangkan pesanan khusus sebanyak 1.500 unit dengan harga jual Rp 14 yang lebih rendah daripada harga jual normal Rp 20. Perhitungan laba-rugi dengan format margin kontribusi untuk tahun lalu adalah sebagai berikut :

Perhitungan Laba-Rugi dengan Pendekatan Margin Kontribusi

Penjualan (8.000 @ Rp 20)                                                     Rp 160.000
Harga Pokok Penjualan variabel (8.000 x Rp 11*)                        88.000
Margin kontribusi                                                                          72.000
Biaya Tetap :
Overhead                                                        Rp 34.000
Administrasi dan penjualan                                 20.000               54.000
Laba bersih                                                                               Rp 18.000
                                 
Dengan menganggap bahwa struktur kos tidak akan berubah untuk periode kini, maka secara cepat dapat diambil keputusan menerima pesanan khusus. Dari perhitungan diatas dapat diperkirakan bahwa kos yang akan bertambah dengan adanya pesanan khusus adalah kos variable saja (sebesar Rp 11 per unit). Inilah kos yang relevan, yang harus dipertimbangkan dalam pembuatan keputusan. Adapun kos tetap, jumlahnya akan tetap tanpa memandang diterima atau ditolaknya pesanan khusus. Oleh karena itu, kos tetap pada contoh ini tidak relevan dan tidak perlu dipertimbangkan dalam pembuatan keputusan. Jika pesanan khusus diterima, maka tambahan margin kontribusi total adalah Rp 4.500 sebagaimana ditunjukkan oleh analisis diferensial yang ada di tabel berikutnya.
Laba bersih bertambah Rp. 4.500 meskipun harga pesanan khusus lebih rendah daripada harga jual normal. Pesanan khusus diterima karena member margin kontribusi positif. Selama harga jual masih dapat menutup kos variable, maka menerima pesanan khusus adalah keputusan yang sehat. Jadi harga minimum yang dapat diterima adalah sebesar kos variabel.

Analisis Diferensial Dengan dan Tanpa Pesanan Khusus

Tanpa
Pesanan
Khusus
(1)
Dengan
Pesanan
Khusus
(2)

Beda

(3) = (2) - (1)
Penjualan :
8.000 x Rp 20
1.500 x Rp 14
 

Biaya Variabel :
8.000 x Rp 11
1.500 x Rp 11
Margin Kontribusi
Biaya Tetap :
Overhead
Administrasi & Penjualan



Laba Bersih

160.000
-
160.000

88.000
-
72.000

34.000
20.000
54.000

18.000

160.000
21.000
181.000

88.000
16.500
76.500

34.000
20.000
54.000

22.500

-
21.000 A
             21.000

-
16.500 B
            4.500

-
-
-

4.500 C
A. Differential Revenue
B. Differential Cost
C. Differential Income

Analisis yang salah dapat terjadi apabila kita menggunakan perhitungan laba dengan format pendekatan fungsional. Jika disusun dengan format ini, maka harga pokok penjualan adalah sebesar Rp 14,25 per unit, dihitung sebagaimana perhitungan pada table dibawah ini.
Harga Pokok Penjualan
Dengan pendekatan Fungsional


                        Bahan Baku                                                                             Rp. 4,00
                        Tenaga Kerja Langsung                                                          Rp. 4,00
Overhead variabel                                                                  Rp. 2,00
Overhead tetap : 34.000 : 8.000                                             Rp. 4,25
                                                                                                Rp. 14,25

Oleh karena harga pokok penjualan per unit sebesar Rp 14,25 (lebih tinggi daripada harga pesanan khusus) maka kesimpulan yang diambil adalah menolak pesanan khusus. Ini adalah kesimpulan yang keliru karena mempertimbangkan biaya (overhead) tetap yang sebenarnya tak relevan. Kesalahan lain pada contoh ini adalah tidak dipertimbangkannya biaya administrasi dan penjualan variabel yang sebenarnya relevan. Untuk menghindari kesalahan seperti ini, maka amat dianjurkan untuk menggunakan informasi dari laporan atau perhitungan laba rugi dengan format margin kontribusi.
Biaya overhead tetap, pada contoh ini, tidak akan berubah apakah keputusan yang diambil adalah menerima atau menolak pesanan khusus. Sebabnya adalah pesanan khusus hanya berjumlah 1.500 unit yang masih berada dibawah kapasitas menganggur 2.000 unit (kapasitas maksimum dikurangi kapasitas normal : 10.000 unit – 8.000 unit).
Jika pesanan khusus melampaui kapasitas maksimum misalnya 3.000 unit, maka dibutuhkan mesin (peralatan) tambahan untuk memenuhi pesanan. Pertambahan peralatan ini akan menambah biaya tetap (berupa penyusutan, upah mandor, dan lain sebagainya). Pada kondisi demikian, maka biaya tetap pun menjadi relevan, dan oleh karena itu harus dipertimbangkan dalam pengambilan keputusan. Pesanan khusus, dengan analisis differensial, hanya dapat diterima apabila differential revenue lebih tinggi daripada atau setidak-tidaknya sama dengan differential cost.
Konsep opportunity cost dapat diterapkan dalam kondisi lain, misalnya menggunakan kapasitas yang menganggur untuk memproduksi lain, bukannya untuk melayani pesanan khusus. Apabila dalam alternatif ini differential income (differential revenue minus differential cost) lebih tinggi daripada alternative menerima pesanan khusus, maka alternatif inilah yang lebih bijaksana untuk diambil.
4.      Menambah atau Memberhentikan Departemen atau Produk
Manajemen selalu dihadapkan dengan keputusan-keputusan yang melibatkan pemilihan kombinasi produk yang menghasilkan laba yang tertinggi. Bila ada produk baru, maka pendapatan dan biayanya yang harus dievaluasi secara hati-hati untuk meyakinkan apakah labanya cukup besar untuk membenarkan keputusan menjual produk tersebut.
      Jika ada produk baru, dapat saja terjadi bahwa produk lama mulai pudar ketenarannya karena ada perubahan preferensi konsumen dan menjadi tidak menguntungkan lagi. Jika produk lama tidak menggunakan lagi, maka sebaiknya produk ini diberhentikan. Keputusan-keputusan mengenai penambahan atau pemberhentian produk atau departemen tertentu harus dilakukan dengan hati-hati. Pertimbangan-pertimabangan dalam keputusan menambah atau memberhentikan produk adalah apakah produk dimasa yang akan datang akan member peningkatan laba bersih perusahaan. Analisis diferensial dapat digunakan untuk mengevaluasi pengaruh penambahan atau pemberhentian ini pada laba di masa yang akan datang.
      Untuk memberi gambaran bagaimana analisis diferensial dapat diterapkan pada situasi penambahan atau pemberhentian produk/departemen, digunakan perhitungan laba-rugi perusahaan dagang berikut :


Departemen
ALPHA
Departemen
BETA
TOTAL
Penjualan
Biaya Variabel
Margin Kontribusi
Biaya Tetap :
Gaji Pramuniaga
Iklan
Asuransi
Pajak Bumi dan Bangunan
Penyusutan
Rupa-rupa
Total
Laba bersih
300.000
250.000
50.000

40.000
24.000
900
1.500
21.000
600
88.000
(38.000)
700.000
440.000
260.000

84.000
56.000
2.100
3.500
49.000
1.400
196.000
(64.000)
1.000.000
690.000
310.000

124.000
80.000
3.000
5.000
70.000
2.000
284.000
26.000

Analisis secara tidak berhati-hati terhadap perhitungan diatas dapat menunutun kepada kesimpulan bahwa karena Departemen Alpha tidak menguntungkan, maka manajemen seharusnya memberhentikannya saja. Rugi bersih Rp. 38.000 pada Departemen Alpha dapat memberi kesan bahwa tanpa adanya departemen tersebut, perusahaan secara keseluruhan dapat memperoleh laba Rp. 64.000. apakah ini konklusi yang benar? Meskipun Departemen Alpha tidak member margin kontribusi yang cukup untuk menutup seluruh biaya tetap departemennya sendiri, namun sudah memberi sumbangan pada laba perusahaan. Sumbangannya adalah Rp. 50.000 yang terlihat sebagai margin kontribusi. Andaikan departemen ini ditutup, maka perusahaan akan kehilangan margin kontribusi Rp. 50.000 tersebut. Namun analisis ini saja belumlah cukup, karena kita masih memerlukan analisis lebih lanjut untuk menentukan biaya tetap yang dapat dihindarkan.
      Ingatlah bahwa unavoidable cost akan tetap terjadi tanpa mengacuhkan alternatif yang dipilih. Konsekuensinya, sebelum departemen alpha ditutup, tiap-tiap biaya departemen ini harus di evaluasi. Setelah langkah ini ditempuh, barulah dapat dinilai dengan teliti pengaruh yang benar dari pemberhentian departemen ini terhadap profitabilitas perusahaan. Berikut adalah sebuah contoh analisis lanjutan yang perlu diperhatikan secara seksama.
      Biaya variabel yang tersaji diperhitungan laba-rugi perusahaan dagang dapat dihindarkan jika Departemen Alpha diberhentikan. Gaji pramuniaga adalah gaji kepada para karyawan yang bekerja secara eksklusif pada Departemen Alpha, sehingga jika Departemen Alpha ditutup, para karyawannya dapat diberhentikan dan gaji pramuniaga departemen ini tidak akan terjadi. Selanjutnya, biaya iklan, asuransi, pajak bumi dan bangunan, penyusutan, dan rupa-rupa adalah common cost yang dialokasi ke departemen-departemen. Allocated cost tidak dapat ditelusuri secara langsung ke departemen tertentu berdasarkan manfaat yang diterima dari common cost tersebut. Oleh karena biaya yang bersifat common itu dialokasikan ke seluruh departemen yang ada, maka biaya tersebut tidak dapat dihindarkan dengan pemberhentian departemen tertentu. Dengan menerapkan analisis diferensial, dapat dilihat bahwa laba perusahaan sebenarnya justru lebih kecil jika Departemen Alpha diberhentikan, sebagaimana dapat dilihat pada contoh berikut.












Total
Hanya
Departemen
Beta
Selisih
Penjualan
Biaya Variabel
Margin Kontribusi
Biaya Tetap :
(Terhindarkan) Gaji Pramuniaga
(Tak Terhindarkan)
(284.000 – 124.000)
Total Biaya Tetap
Laba Bersih
1.000.000
690.000
310.000

124.000

160.000
284.000
26.000
700.000
440.000
260.000

84.000

160.000
244.000
16.000
300.000 TM
 250.000 M
50.000

   40.000 M

         0  Nihil
40.000 M
P[‘

Laba bersih perusahaan turun sebesar Rp. 10.000 yaitu dari Rp. 26.000 jika Departemen Alpha dippertahankan, menjadi Rp. 16.000 jika Departmen Alpha diberhentikan. Penurunan laba ini terjadi karena Departemen Beta yang akan dipertahankan hanya mempunyai margin kontribusi Rp. 260.000 yang harus menutup biaya terhindarkan departemen itu sendiri sebesar Rp. 84.000 plus biaya tak terhindarkan yang berjumlah Rp. 160.000. Hasilnya adalah laba bersih turun menjadi Rp. 16.000. Secara total, laba bersih turun sebesar Rp. 10.000 sehingga penutupan Departemen Alpha merupakan pilihan yang tidak bijaksana.
Pertimbangan lain harus diperhitungkan apabila ada alternatif penjualan produk lain sebagai pengganti ditutupnya Departemen Alpha. Alternatif apapun yang ditempuh, jika dapat menghasilkan tambahan laba bersih perusahaan diatas Rp. 38.000 adalah pilihan yang rasional. Konsep yang digunakan pada alternative ini adalah opportunity cost.

5.      Membeli Dari Luar atau Memproduksi Sendiri
Keputusan lain yang penting adalah apakah perusahaan harus membuat sendiri salah satu suku cadang produknya atau membeli dari pihak luar. Keputusan ini dihadapi oleh manajemen dalam perusahaan pabrikasi yang membuat suatu produk dengan menggunakan beberapa suku cadang. Masalahnya terletak pada dua pilihan, di satu pihak perusahaan mampu memproduksi sendiri seluruh suku cadangnya, sementara dilain pihak ada satu suku cadang atau lebih yang tersedia di pasar. Analisis diferensial dapat digunakan untuk memecahkan masalah ini.
Untuk member gambaran, anggap bahwa perusahaan selama ini memproduksi sendiri suku cadang A sebanyak 100 unit dengan kos sebagai berikut :




Per Unit
Total
Bahan Baku
Tenaga Kerja Langsung
Overhead Variabel
Overhead Tetap
Rp. 1000
4.000
2.000
3.000

Rp. 100.000
400.000
200.000
300.000

Total
Rp. 10.000
Rp. 1.000.000

 Ada pemasok yang menawarkan komponen tersebut dengan harga Rp. 8.000 per unit. Diperkirakan kos pemesanan, penerimaan dan pemeriksaan tiap unit Rp. 1.000. A pakah perusahaan akan tetap memproduksi sendiri komponen tersebut atau akan membeli dari pemasok dengan cost Rp. 9.000 (Rp 8.000 + Rp 1.000)?
Secara sepintas kelihatannya perusahaan lebih baik membeli dari luar karena harganya lebih rendah daripada kos memproduksi sendiri. Akan tetapi, jika analisis diferensial digunakan, maka jawabannya akan seperti contoh berikut.


Per unit
Total 100 unit
Buat
Beli
Buat
Beli
Bahan Baku
Tenaga Kerja Langsung
Overhead Variabel
Membeli
1.000
4.000
2.000
-
-
-
-
9.000
100.000
400.000
200.000
-


-
900.000
Total Kos Relevan
7.000
9.000
700.000
900.000

Kos overhead pabrik tetap tidak ikut dipertimbangkan dalam keputusan ini karena tidak relevan. Apakah membeli atau membuat sendiri, kos ini tidak akan berubah. Dari analisis tersebut, maka keputusannya adalah tetap memproduksi sendiri suku cadang A. Mengapa demikian? Jika membuat sendiri, kosnya (yang relevan) adalah Rp 7.000 per unit atau Rp 700.000 total. Jika membeli dari luar, kosnya adalah Rp 9.000 per unit atau Rp 900.000 total. Jadi, membeli dari luar menimbulkan pemborosan Rp 200.000 (Rp 900.000 – Rp 700.000). Dengan kata lain, memproduksi sendiri akan menghemat kos sebesar Rp 200.000.
Konsep opportunity cost  juga dapat digunakan dalam kasus ini. Apabila memproduksi sendiri, maka opportunity cost-nya adalah nol, tetapi apabila membeli dari luar, maka opportunity cost-nya adalah Rp 200.000 (yakni penghematan kos yang hilang karena memilih membeli dari luar dan menolak memproduksi sendiri). Kasus yang baru dijelaskan ini adalah membiarkan kapasitas menganggur jika perusahaan membeli dari luar.
Kasus lain yang lebih kompleks dapat didekati dengan konsep opportunity cost, apabila perusahaan membeli dari luar, dan kapasitas yang semula untuk memproduksi suku cadang akan dimanfaatkan untuk membuat produk lain. Misalnya kapasitas semula daoat digunakan untuk membuat produk X dengan kos dan dapat dijual dengan harga sebagai berikut.

Harga Jual Per Unit
Harga Pokok Penjualan :
Bahan Baku
Tenaga Kerja Langsung
Overhead Variabel
Overhead Tetap (berdasarkan 100 unit)
Laba (rugi) per unit
Laba (rugi) total (100 x Rp 500)


Rp 2.000
8.000
2.000
3.000
Rp 14.500




Rp 15.000 (-)
 (Rp 500)
(Rp 50.000)

Rugi per unit Rp 500 sepintas memberi kesan bahwa alternatif memproduksi X tidak mungkin diterima sebagai keputusan yang masuk akal. Kesan ini timbul karena kos overhead tetap per unit Rp 3.000 (atau totalnya Rp 300.000) ikut diperhitungkan dalam analisis, padahal kos ini tidak relevan. Kos overhead tetap akan tetap terjadi dan tidak berubah, apakah kapasitas yang ada dibiarkan menganggur atau dimanfaatkan untuk memproduksi X. Oleh karena itu, kos tak terhindarkan ini harus dikeluarkan dari analisis diferensial. Bila langkah ini ditempuh, maka kos produksi per unit hanyalah Rp 12.000 (Rp 2.000 + Rp 8.000 + Rp 2.000), dan margin kontribusi tambahannya per unit Rp 2.500 atau totalnya Rp 250.000.
Masalah yang dihadapi oleh manajemen adalah apakah akan mengambil keputusan (1) membeli suku cadang dari luar dengan membiarkan kapasitas terdahulu menganggur, atau (2) membeli suku cadang dari luar dengan memanfaatkan kapasitas yang ada untuk memproduksi X? Untuk memecahkan ini,  bekerjanya konsep opportunity cost adalah sebagai berikut. Bila keputusan nomor (1) diambil , maka opportunity cost adalah Rp 250.000 (yakni tambahan kontribusi total yang hilang karena tidak memproduksi X), bila keputusan nomor (2) diambil, maka opportunity cost adalah Rp 200.000 (yakni hilangnya penghematan kos karena perusahaan membeli suku cadang dari luar dengan membiarkan kapasitasnya menganggur). Oleh karena kos yang paling kecil adalah keputusan nomor (2), maka alternatif nomor (2) inilah yang sebaiknya diambil.




6.      Memproduksi Setelah Split-Off Point atau Langsung Menjual
Beberapa produk dihasilkan secara bersama-sama dari bahan baku yang sama atau dari satu proses produksi yang sama. Bensin, minyak tanah, dan minyak pelumas adalah produk-produk yang berasal dari proses penyulingan petroleum. Akuntan menyebut produk-produk ini sebagai joint products atau co-products. Saat dapat dipisahkannya produk-produk itu dari proses produksi disebut split-off point. Kos produksi untuk produk-produk ini sebelum titik pemisahan adalah joint cost atau common costs. Oleh karena kos produksi untuk masing-masing jenis produk itu harus diketahui, maka usaha untuk mengalokasi kos bersama (joint costs) harus dilakukan secara adil dan teliti. Pengalokasian secara adil dan teliti merupakan masalah yang harus dicari pemecahannya. Salah satu pemecahannya adalah mengalokasi kos bersama dengan menggunakan nilai jual relative dari produk-produk tersebut.
Dalam kasus tertentu, setelah titik pemisahan semua produk adalah produk akhir yang harus segera dijual kepada pelanggan. Dalam kasus lain, setelah titik pemisah , satu atau lebih produk dapat langsung dijual kepada pelanggan, atau dapat pula diproses lebih lanjut. Jika produk diproses lebih lanjut sudah barang tentu dibutuhkan kos produksi tambahan. Setelah proses lanjutan ini selesai, produk dijual dengan harga yang lebih tinggi dibanding dengan harga seandainya produk langsung dijual setelah titik pemisahan. Masalah yang akan dibahas sekarang adalah keputusan manajemen yang rasional, apakah produk yang lebih baik dijual langsung setelah split-off point atau diproses lebih lanjut.

D.    PENENTUAN HARGA JUAL
1.      Teori Ekonomika
Secara garis besar, teori ekonomika dibagi menjadi teori makroekonomika (macroeconomics theory) dan teori mikroeknomika (microeconomics theory). Teori mikroekonomika disebut juga teori harga (price theory) karena menjelaskan terciptanya harga menurut teori mikroekonomika.
Harga sebuah produk adalah hasil akhir dari interaksi dua kekuatan, yakni permintaan dan penawaran produk tersebut. Teori permintaan mengatakan bahwa jumlah produk yang diminta oleh pembeli (pelanggan) pada suatu periode waktu tertentu bergantung pada harga produk itu. Semakin tinggi harga, semakin sedikitlah jumlah unit produk yang diminta. Sebaliknya, semakin rendah harga, semakin banyaklah jumlah unit produk yang diminta. Kurva permintaan (DD) pada gambar dibawah ini dapat menjelaskan hubungan antara harga pasar dan jumlah unit barang yang diminta konsumen. Kurva ini bergerak dari atas kiri ke bawah kanan yang menunjukkan bahwa jika harga turun, maka jumlah unit yang diminta menjadi lebih banyak, dan sebaliknya jika harga naik, maka jumlah unit yang diminta menjadi lebih sedikit. Teori penawaran mengatakan bahwa jumlah produk yang ditawarkan oleh penjual pada suatu produk tertentu bergantung pada harga produk yang ditawarkan penjual, sebaliknya semakin rendah harga, semakin sedikit pula jumlah unit produk yang ditawarkan. Hukum penawaran ini dijelaskan oleh kurva penawaran (SS) pada Gambar dibawah ini.        


                                     D                                                  S

                          10 - - - - - - - - - - - - - - -

                            0       S                                                 D
                                                          1.500                                 Kuantitas (unit)
Bagaimana permintaan dan penawaran berinteraksi untuk menentukan harga pasar? Kurva permintaan menunjukkan pelbagai kuantitas barang yang diminta oleh para pembeli pada pelbagai tingkat harga yang mereka mau bayar, sedangkan kurva penawaran menunjukkan pelbagai jumlah barang yang akan diproduksi oleh produsen (penjual) pada pelbagai tingkat harga. Akan tetapi, tidak satupun dari kurva permintaan dan kurva penawaran itu yang mengatakan bahwa harga yang telah terjadi adalah sekian rupiah, jumlah yang telah terjual sekian unit, atau jumlah yang dibeli adalah sekian unit.
Harga pasar ditentukan oleh titik perpotongan antara kurva penawaran dan kurva permintaan. Pada titik ekuilibrium inilah jumlah yang disediakan oleh produsen sama dengan jumlah yang diminta oleh konsumen. Titik ini ditunjukkan oleh gambar kurva diatas pada harga Rp 10 dan kuantitas equilibrium 1.500 unit.
2.      Penentuan Harga Berdasarkan Kos
Diatas telah dijelaskan bagaimana harga suatu produk ditentukan oleh interaksi antara kurva permintaan dan kurva penawaran. Teori ekonomika memang berhasil mengembangkan model-model penentuan harga untuk pelbagai tipe dasar. Teori ekonomika tersebut memang logis, akan tetapi sulit untuk diterapkan secara langsung oleh manajer untuk menetapkan harga jual dalam praktik.
Sulitnya penerapan teori ekonomika tersebut dikarenakan oleh hal-hal berikut. Pertama, adanya asumsi bahwa kurva permintaan dapat diketahui. Umumnya, manajemen tidak memiliki data yang akurat, cukup, dan dapat dipercaya untuk membuat kurva permintaan yang tepat. Kedua, teori ekonomika menganggap bahwa perusahaan bertujuan mencari laba maksimum, padahal banyak tujuan social, hukum dan batasan yang mempengaruhi keinginan manajemen untuk memperoleh laba tersebut. Ketiga, banyak factor lain, disamping harga mempengaruhi fungsi permintaan. Misalnya, interaksi antara kebijakan pemasaran dan distribusi, kebijakan promosi dan pengiklanan, penyebaran staf penjualan, penawaran jasa-jasa kepada pelanggan dan pelbagai tipe produk yang dijual. Seluruh faktor ini mempunyai pengaruh besar terhadap jumlah produk yang dapat dijual dengan harga tertentu.
Pelbagai kesulitan diatas memaksa manajemen untuk menggunakan pendekatan coba-coba dalam menentukan harga jual. Akhirnya, informasi kos menjadi dasar pengambilan keputusan menentukan harga jual produk/jasa. Dalam praktik, pricing lebih merupakan seni daripada ilmu.

A.      COST-PLUS PRICING
Dalam jangka panjang, harga jual produk harus dapat menutup seluruh kos. Jika tidak, maka perusahaan tidak mampu mempertahankan hidupnya. Harga jual yang ditetapkan sedikit diatas kos variabel saja, hanya dapat diterima dalam jangka pendek dan dalam kondisi tertentu. Dalam jangka panjang, seluruh kos adalah relevan untuk menentukan harga jual dan harus dipertimbangkan secara eksplisit agar tujuan laba jangka panjang dapat tercapai.
Pendekatan yang lazim untuk menentukan harga jual produk standar adalah menerapkan formula cost-plus. Menurut pendekatan ini, harga jual adalah cost ditambah dengan markup sebesar persentase tertentu dari cost tersebut. Markup harus ditentukan sedemikian rupa, sehingga laba yang diinginkan dapat tercapai.
B.      KOS PRODUKSI PENUH
Salah satu dasar yang digunakan untuk menentukan harga jual produk adalah kos produk yang dihitung dengan pendekatan absorption costing (full costing). Menurut pendekatan ini, kos produk terdiri atas kos bahan baku, kos tenaga kerja langsung, dan overhead pabrik tetap dan variabel. Harga jual yang ditargetkan adalah kos produk ditambah dengan markup. 

Untuk memberikan gambaran, anggaplah bahwa sebuah perusahaan sedang dalam proses menentukan harga jual produknya. Data kos yang berhubungan dengan produk tersebut tersaji sebagai berikut:
Kos
Per Unit
Total
Bahan Baku
Tenaga Kerja Langsung
Overhead Variabel
Overhead Tetap (berdasar pada produksi 10.000 unit)
Pemasaran & Administrasi Variabel
Pemasaran & Administrasi Tetap (berdasarkan pada produksi 10.000 unit)
Rp 1.000
800
800

1.400
400


200




Rp 14.000.000



2.000.000

Menurut data diatas, kos adalah sebesar Rp 4.000 per unit, sebagaimana perhitungan berikut ini.
Bahan Baku
Tenaga Kerja Langsung
Overhead (tetap Rp 1.400 dan Variabel Rp 800)
Rp 1.000
800
2.200
Kos produksi per unit
Rp 4.000

Misalnya markup yang diinginkan adalah 50% dari kos produk. Dengan demikian, harga jualnya adalah Rp 6.000, sebagaimana perhitungan berikut:
Kos Produksi Penuh per unit
(+) Markup untuk menutup kos pemasaran, kos administrasi, dan laba : 50% dari kos produksi
Rp 4.000


Rp 2.000
 Target Harga Jual per unit
Rp 6.000

Meskipun pendekatan ini bernama cost-plus, namun masih ada bagian kos yang tersembunyi (buried) dalam markup. Kos yang tersembunyi tersebut adalah kos pemasaran. Kos tersebut dapat pula ditampakkan secara terpisah dan ditambahkan dengan kos produksi. Jadi, markup dapat dihitung dari seluruh kos, baik produksi maupun kos nonproduksi.
Kalau kita menggunakan seluruh kos (produksi dan nonproduksi) sebagai dasar penentuan harga, berarti kita mendasarkan pada full cost. Namun demikian, cara seperti itu jarang dilakukan dalam praktik. Alasannya adalah kesulitan yag dihadapi dalam mengalokasi kos nonproduksi jika produk perusahaan banyak jenisnya. Sebagai contoh, gaji presiden direktur adalah common cost untuk seluruh produk. Pengalokasian kos gaji tersebut ke masing-masing produk dengan cara yang adil dan berarti adalah suatu pekerjaan yang sulit.
Seandainya perusahaan berencana untuk memproduksi dan menjual 10.000 unit dengan harga jual Rp 6.000 per unit, maka laba bersih taksirannya akan tampak sebagai berikut :
Penjualan (10.000 satuan @ Rp 6.000)
HPP (10.000 satuan Rp 4.000)
Rp 60.000.000
40.000.000
Laba Bruto
Rp 20.000.000
Kos pemasaran dan administrasi (10.000 satuan):
Varibel @ Rp 400 dan tetap total Rp 2.000.000
6.000.000
Laba Bersih
Rp 14.000.000

C.      KOS PENUH
Dasar lain yang dapat digunakan untuk menentukan harga jual adalah full cost. Full cost adalah seluruh kos baik kos produksi maupun kos nonproduksi. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, pendekatan ini sulit diterapkan apabila produk yang dibuat oleh perusahaan terdiri atas pelbagai jenis. Untuk memudahkan pemahaman, anggaplah hanya satu jenis produk yang dibuat dan dijual perusahaan.
Dengan menggunakan data sebelumnya, full cost per unit adalah sebagai berikut:
Kos produksi penuh per unit
Kos pemasaran dan administrasi variabel
Kos pemasaran dan administrasi tetap
Rp 4.000
400
200
Full cost per unit
Rp 4.600


Apabila ditetapkan markup 30,43% dari full cost, maka besarnya harga jual adalah Rp 6.000 sebagaimana perhitungan berikut :
Kos penuh per unit
(+) Markup : (30,43% x Rp 46)
Rp 4.600
1.400
Target harga jual per unit
Rp 6.000

D.     KOS PRODUKSI VARIABEL
Dasar ketiga yang dapat digunakan untuk menentukan harga jual adalah kos produk yang dihitung dengan pendekatan variabel costing. Menurut pendekatan ini, kos produk hanya terdiri atas kos variabel yang diperlukan untuk memproduksi barang atau jasa. Elemen kos produk hanya meliputi kos bahan baku, kos tenaga kerja langsung, dan kos overhead pabrik variabel. Kos overhead pabrik  tetap dianggap bukan kos produksi, melainkan kos periode (period cost).
Untuk member gambaran, digunakan data kos pada contoh sebelumnya. Kos produk variabel adalah sebesar Rp 2.600 dihitung sebagai berikut.
Kos bahan baku
Kos tenaga kerja langsung
Kos overhead variabel
Rp 1.000
800
800
Kos produksi variabel per unit
Rp 2.600
Anggaplah bahwa markup yang ditentukan untuk menutup kos nonproduksi dan laba per unit adalah 130,77%. Dengan demikian harga jualnya adalah Rp 6.000 sebagaimana perhitungan berikut:
Kos Produksi Variabel per unit
(+) Markup untuk menutup kos nonproduksi dan laba : 130,77% x Rp 2.600
Rp 2.600
3.400
Target Harga Jual per unit produk
Rp 6.000





Seandainya perusahaan akan memproduksi dan menjual 10.000 unit dengan harga Rp 6.000 per unit, maka laba taksirannya akan tampak sebagai berikut:
Penjualan (10.000 unit @ Rp 6.000)
Dikurangi :
HPP variabel (10.000 unit @ Rp 2.600)
Biaya pemasaran dan adminsitrasi variabel (10.000 x Rp 400)
Rp 60.000.000

Rp 26.000.000
        4.000.000
Margin Kontribusi
Rp 30.000.000
Dikurangi Biaya Tetap :
Biaya Produksi
Biaya Administrasi dan Pemasaran

Rp 14.000.000
        2.000.000
Laba Bersih
Rp 14.000.000

E.      KOS VARIABEL
Dasar keempat untuk menentukan harga jual adalah variabel cost. Yaitu seluruh kos variabel baik kos produksi variabel maupun kos non produksi variabel. Kos variabel per unit adalah :
Kos Produksi variabel per unit
Kos pemasaran dan administrasi variabel per unit
Rp 2.600
400
Kos variabel per unit
Rp 3.000
Apabila markup ditetapkan 100% maka target harga jual per unit adalah Rp 3.000 + Rp 3.000 = Rp 6.000 seperti perhitungan berikut.
Kos produksi variabel per unit
(+) Markup untuk menutup laba: 100% x Rp 3.000
Rp. 3.000
3.000
Target harga jual per unit produk
Rp 6.000
Dari penjelasan diatas, maka dapatlah dipahami bahwa penentuan harga jual produk dengan mendasarkan pada kos tidak dapat dipandang sebagai formula yang kaku dan deterministic (pasti). Pelbagai formula yang ada hanyalah cara menentukan target harga jual sebagai pendekatan coba-coba. Pada akhirnya, konsumenlah yang dapat menentukan harga, sehingga perusahaan harus selalu menyesuaikan harga jualnya atau mengubah lini produknya. Selalu menyesuaikan harga jual dilakukan apabila pasar yang dihadapi perusahaan adalah persaingan sempurna karena posisi perusahaan hanyalah price taker.

F.       MENENTUKAN PERSENTASE MARKUP
Untuk apa markup itu? Markup dibentuk untuk menutup: 1. kos selain kos yang menjadi dasar perhitungan, dan 2. laba yang diinginkan. Jika salah menentukan presentase markup, maka kos tersebut dan laba yang diinginkan tidak dapat ditutup oleh harga jual.
Return on investment (ROI) adalah salah satu cara untuk menentukan besarnya markup. Berikut ini empat buah formula untuk menentukan besarnya presentase markup. Masing-masing formula akan diberikan contoh perhitungannya, baik untuk besarnya markup itu sendiri maupun untuk besarnya harga jual setelah diketahui markup. Semua formula akan menggunakan data dibawah ini.
Rerata asset operasi setiap tahun Rp 50.000.000. Produksi dan penjualan setahun 10.000 unit. Return On Investment (ROI) atau Return On Assets Employed yang diinginkan adalah 28%. Data kos taksiran setahun mendatang adalah sebagai berikut.

Total
Per Unit
Kos Bahan Baku
Kos Tenaga Kerja Langsung
Kos Overhead Variabel
Kos Overhead Tetap
Kos Pemasaran dan Administrasi Variabel
Kos Pemasaran dan Administrasi Tetap
Rp 10.000.000
8.000.000
8.000.000
14.000.000
4.000.000
2.000.000
Rp 1.000
800
800
1.400
400
200
Jumlah
Rp 46.000.000
Rp. 4.600

G.     FORMULA FULL COSTING
Formula ini dipergunakan jika dasar perhitungan untuk menentukan markup adalah kos produksi penuh.
% markup =     (Target ROI) + (Kos Pemasaran dan Administrasi Total)
(Volume dalam unit) x (Kos Produk Penuh per unit)

=   (28% x Rp 50.000.000) + (Rp 6.000.000)
(10.000 x Rp 4.000)

=   Rp 20.000.000
     Rp 40.000.000

=   50%

Dengan menggunakan data taksiran diatas, maka harga jual per unit produk yang ditargetkan adalah :
Kos produksi penuh per unit
(+) Markup: 50% x Rp 4.000
Rp 4.000
2.000
Target harga jual per unit
Rp 6.000
Jika perusahaan dapat menjual seluruh produksinya (10.000 unit) dengan harga jual per unit Rp 6.000, maka taksiran labanya tahun depan tampak sperti berikut ini :
Penjualan (10.000 x Rp 6.000)
(-) HPP (10.000 x Rp 4.000)
Rp 60.000.000
40.000.000
Laba Bruto
(-) Biaya Pemasaran dan Administrasi
20.000.000
6.000.000
Laba
Rp 14.000.000

Berdasarkan perhitungan diatas, ROI dapat dibuktikan sebesar 28% dan markup sebesar 50%, sebagai berikut.
ROI      =          Laba                x          Penjualan
Penjualan                    Rerata Aset Operasi

                        =          Rp 14.000.000             x          Rp 60.000.000
                                    Rp 60.000.000                         Rp 50.000.000
                                    =          0,233 x 1,2
                                    =          28%
% markup        =          Target ROI + Kos Pemasaran dan Administrasi
                                                Volume dalam unit x Kos Produk per unit

      =          (28% x Rp 50.000.000) + (Rp. 6.000.000)
                              10.000 x Rp 4.000

      =          Rp 20.000.000
                  Rp 40.000.000

      =          50%

Dari angka ini terbukti bahwa markup sebesar 50% atau Rp 20.000.000 yang akan digunakan untuk menutup kos pemasaran dan administrasi Rp 6.000.000 dan laba bersih yang dikehendaki sebesar Rp 14.000.000, yakni ROI sebesar 28% dari rerata investasi Rp 50 juta.


H.     FORMULA FULL COST
Formula ini dipergunakan jika dasar perhitungan untuk menentukan markup adalah kos penuh, yaitu penjumlahan antara kos produksi dan non produksi.
% markup        =                      Target ROI
                                                Volume dalam unit x Total kos penuh per unit

      =          28% x Rp 50.000.000
10.000 x Rp 4.600
            =          Rp 14.000.000
                        Rp 46.000.000

                 =          30,43%

Adapun harga jual per unitnya adalah Rp 4.600 + (30,43% x Rp 4.600) = Rp 6.000

I.        FORMULA VARIABLE COSTING
Formula ini dipergunakan jika dasar perhitungan untuk menentukan markup adalah kos produksi variabel.
% markup        =          Target ROI + Kos Tetap Non produksi variabel
                                                Volume dalam unit x Kos produksi variabel per unit

      =          (28% x Rp 50.000.000) + Rp 16.000.000 + Rp 4.000.000
                                          10.000 x Rp 2.600
      =          Rp 34.000.000
                  Rp 26.000.000

      =          130,77%
Harga jual per unit dengan data diatas adalah Rp 2.600 + (130,77% x Rp 2.600) = Rp 6.000.

J.        FORMULA VARIABLE COST
Formula ini dipergunakan jika dasar perhitungan untuk menentukan markup adalah kos produksi dan nonproduksi variabel.
% Markup        =                      Target ROI + Kos Tetap
                                                Volume dalam unit x Kos Penuh variabel per unit

                                    =          (28% x Rp 50.000.000) + Rp 16.000.000
                                                            10.000 x Rp 3.000

                                    =          Rp 30.000.000
Rp 30.000.000
=          100%
Dari data diatas, maka harga jual produk per unit adalah Rp 30.000 + (100% x Rp 3.000) = Rp 6.000.
Dengan menggunakan data yang sama, harga jual per unit adalah Rp 6.000 walaupun formula yang digunakan dan besarnya markup berbeda-beda. Markup berbeda-beda karena dasar yang digunakan untuk menentukan markup berbeda-beda. Harga jualnya sama karena ROI  yang diinginkan adalah sama, yaitu 28%. Perhatikan table berikut.

Formula
Full Costing
Formula
Full Cost
Formula
Variabel
Costing
Formula
Variabel
Cost
Dasar yang digunakan :
1.      Seluruh kos produksi
Markup 50%
4.000
2.000
-


2.      Seluruh kos Markup 30,43%

4.600
1.400
-

3.      Kos Produksi Variabel
Markup 130,77%


2.600
3.400
-
4.      Kos Variabel Markup 100%



3.000
3.000
Harga Jual
6.000
6.000
6.000
6.000

K.      PENENTUAN HARGA WAKTU DAN BAHAN
Pendekatan penentuan harga waktu dan bahan (time and material pricing) menggunakan dua buah tarif penentuan harga jual. Tarif pertama mendasarkan pada waktu tenaga kerja langsung, dan yang kedua mendasarkan pada bahan. Tarif tersebut dibentuk untuk menutup kos administrasi dan pemasaran, kos tak langsung lainnya, dan laba yang diinginkan. Penentuan harga jual dengan metode ini lazim dilakukan oleh bengkel reparasi jam, bengkel reparasi mobil dan motor, perusahaan percetakan, dan perusahaan-perusahaan lain yang bergerak dibidang jasa. Metode ini juga digunakan oleh pelbagai persekutuan para ahli, seperti akuntan, pengacara, dokter, dan konsultan.
Komponen waktu  dinyatakan secara khusus sebagai tarif per jam tenaga kerja langsung. Tarif ini dihitung dari penjumlahan tiga elemen berikut: (i) kos tenaga kerja langsung, termasuk gaji dan tunjangan tambahan; (ii) kos penjualan dan administrasi; dan (iii) kos penjualan dan administrasi; dan (iii) laba yang diinginkan.
Adapun komponen bahan meliputi harga beli bahan yang digunakan selama pengerjaan ditambah material loading charge (MLC). MLC dimaksudkan untuk menutup kos pemasaran, handling dan penyimpanan bahan, plus margin laba untuk bahan itu sendiri.
Contoh berikut merupakan penjelasan metode ini. Sebuah bengkel sepeda motor membayar gaji tenaga kerja langsung sebesar Rp 10.000 per jam plus tunjangan tambahan Rp 4.000 per jam. Kos lainnya sebulan sebagai berikut.
Gaji mandor, termasuk tunjangan tambahan
Bahan habis pakai
Penyusutan
Kos administrasi & pemasaran
Rp 4.250.000
1.600.000
7.300.000
9.350.000
Jumlah
Rp 22.500.000




Tenaga kerja langsung dalam sebulan bekerja selama 2.500 jam. Jika dikehendaki laba perjam sebesar Rp 7.000, maka harga kepada pemesan (pelanggan) perjam adalah sebagai berikut.
Gaji tenaga kerja langsung (termasuk tunjangan per jam)
Kos lain per jam: Rp 22.500.000 : 2.500
Laba yang diinginkan per jam
Rp 14.000
9.000
7.000
Total beban per jam kepada pelanggan
Rp 30.000
Kos pemesanan dan penyimpanan diperkirakan 25% dari harga faktur pembelian bahan. Laba yang diinginkan atas bahan ini adalah 15%. Seandainya dari data diatas, ada seorang pelanggan yang mendapat jasa reparasi selama 2,5 jam dan membutuhkan komponen motor (bahan) yang harga belinya sebesar Rp 100.000, maka ia akan dikenakan harga sebagai berikut.
Jam kerja 2,5 jam @ Rp 30.000

Rp 75.000
Bahan yang digunakan (harga beli)
(+) Kos pemesanan, handling dan
Penyimpanan: 25% x Rp 100.000
(+) Laba 15% x Rp 100.000
Rp 100.000

25.000
15.000



Rp 140.000
Harga jual yang dibebankan kepada pelanggan

Rp 215.000
            Semua rangkuman dan paparan diatas dikutip dari buku Akuntansi Management sebuah pengantar karya Prof. Selamet Sugiri, bagi temen-temen mahasiswa yang ingin mengetahui lebih mendetail saya rekomendasikan untuk membaca buku tersebut, karena paparan-paparan diatas hanyalah sebagian materi saja dari beberapa materi yang ada.